O7 : Warna dan Nada

17 8 2
                                    

Tinggalkan jejakmu, dengan cara Vote dan Comment.

Aku membawa lukisan yang baru selesai kulukis dari studio Raka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku membawa lukisan yang baru selesai kulukis dari studio Raka. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memegang kuas, jadi hasilnya agak berantakan. Sapuan warnanya tidak sehalus yang dulu, perspektifnya sedikit miring, dan detail-detail kecilnya terasa kasar. Tapi anehnya, aku tersenyum sendiri sambil menatap lukisan ini. Meski berantakan, aku merasa bangga, seolah menemukan kembali sebagian dari diriku yang dulu hilang.

Aku meletakkan lukisan itu di meja dekat jendela kamarku, membiarkannya terpapar sinar matahari yang perlahan mulai meredup karena mendung di luar. Hujan mulai turun lagi, dan suara tetesan air yang menimpa genting rumah mengisi ruangan dengan suara yang menenangkan. Aroma tanah basah mulai tercium, membawa serta kenangan yang sudah lama terkubur dalam hati.

Sambil menatap lukisan itu, pikiranku terbang kembali pada sebuah kenangan lama, membawa bayangan Arga. Ada suatu hari yang sangat ku ingat. Kami sedang menunggu hujan reda di sebuah tempat kecil yang menjadi studio dadakan kami. Suara rintik hujan kala itu berpadu dengan senar gitar yang dimainkan Arga, menciptakan harmoni yang sederhana tapi penuh makna.

Kala itu, aku sedang melukis, mencoba menangkap warna-warna langit sore yang mulai diselimuti awan hitam. Arga duduk di sebelahku, memetik gitarnya dengan santai sambil sesekali memperhatikanku yang sibuk dengan sapuan kuas. Dia tidak banyak bicara saat itu, hanya memainkan nada-nada sederhana, seolah memberi iringan pada setiap goresan yang kubuat di atas kanvas.

Hujan turun deras, menciptakan suara riuh yang memenuhi ruangan. Kami saling bertukar pandang, tersenyum dalam diam, seakan mengerti bahwa hujan itu adalah alasan yang sempurna untuk tetap berada di tempat itu lebih lama. Saat itulah Arga mulai bermain gitar sambil menciptakan sebuah lagu. Nada-nadanya ceria, dan lirik-liriknya ia ciptakan secara spontan, dengan sentuhan humor khasnya yang selalu berhasil membuatku tertawa.

"Apa lagu yang kamu buat sekarang, Arga?" tanyaku waktu itu, sembari tertawa kecil.

Dia hanya tersenyum sambil memetik gitarnya dan mulai menyanyikan lagu kecil yang baru saja ia karang.

"Hujan di luar tak kunjung reda,
Kita terjebak di sini berdua.
Aroma tanah dan kopi hangat,
Mungkin nasib kita sama pekat."

Aku menahan tawa mendengar bait pertamanya. Dia menatapku, menunggu reaksiku, dan aku hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil. Lalu, ia melanjutkan dengan lirik yang lebih menggelikan, seolah dia berusaha mengisi waktu dengan kejenakaannya.

"Aku si penunggu, kau si pelukis,
Kita hanya berdua di tempat manis.
Hujan deras tak masalah,
Asal ada kamu, aku tak gelisah."

Aku masih tertawa melihat tingkah konyol Arga. Dia mengubah segala yang ada di sekitarnya menjadi lirik lagu dengan mudahnya, bahkan hal sepele seperti aroma kopi dan bunyi hujan. Selalu ada cara bagi Arga untuk membuat segalanya terasa menyenangkan.

Jejak Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang