O1 : Bayangan yang tak pergi

58 12 0
                                    

Dingin Bandung menyambutku dengan akrab. Seolah tak pernah benar-benar berubah, kota ini masih seperti dulu—begitu tenang dan melankolis. Aku berdiri di tepi jalan, menunggu angkutan kota yang akan membawaku ke rumah kecil yang dulu pernah menjadi tempat tinggalku. Rintik hujan masih turun, meskipun lebih pelan. Payungku sudah kulipat kembali, membiarkan diriku merasakan udara yang menyegarkan di bawah langit kelabu ini.

Sudah bertahun-tahun sejak aku meninggalkan kota ini, dengan hati yang penuh luka dan harapan untuk melupakan segalanya. Tapi di sini, di antara aroma kopi yang menguar dari kedai-kedai kecil dan jalanan yang basah oleh hujan, kenangan itu terasa begitu dekat, seolah waktu tak pernah benar-benar menghapusnya.

Perjalanan menuju rumah terasa asing dan akrab sekaligus. Setelah beberapa menit berkendara, akhirnya aku sampai di depan rumah tua itu. Rumah kecil bergaya kolonial dengan cat yang mulai pudar, namun tetap kokoh berdiri. Pohon besar di sampingnya tampak lebih rindang dari yang kuingat, memberikan kesan teduh di tengah hujan yang setia meneteskan rintiknya. Di ambang pintu, Bibi dan Paman yang sedari tadi menunggu, menyambutku dengan senyum hangat yang begitu ramah.

"Neng, tos lami teu pendak, nya," sapa Bibi sambil memelukku erat.

"Iya, Bi… Rasanya udah lama pisan," jawabku dengan suara bergetar, menahan perasaan yang campur aduk di dalam hati.

Bibi menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "Sini, masuk dulu. Bibi sudah buatkan teh hangat, pasti capek habis perjalanan jauh dari Jakarta."

Aku mengangguk, melangkah masuk ke dalam rumah yang terasa seperti waktu yang membeku. Setiap sudut ruangan ini menyimpan kenangan, terutama tentang keluarga kami yang dulu selalu berkumpul di sini. Pandanganku mengarah ke meja ruang tamu, tempat kami sekeluarga biasa duduk bersama, berbagi cerita sambil menikmati masakan Ibu.

Di ruang ini, aku bisa melihat bayangan Ayah dan Ibu, duduk bersisian di sofa usang, tersenyum hangat. Ibu sering mengelus rambutku di sini, sambil bercerita tentang harapan-harapannya untukku. Ayah duduk di sebelahnya, dengan wajah tenang, sesekali melemparkan lelucon yang selalu membuat kami tertawa.

Aku menghela napas panjang. Rasanya aneh berada di sini lagi, di rumah ini, di kota ini. Setiap sudut membawa bisikan-bisikan dari masa lalu, mengingatkan pada kisah keluargaku yang hangat, dan kebersamaan yang kurindukan. Rasanya, aku hampir bisa mendengar suara tawa mereka memenuhi ruang ini lagi, seperti dulu.

Saat aku duduk dan meraih cangkir teh hangat dari Bibi, mataku tak sengaja melihat ke luar jendela. Hujan masih turun dengan ritmenya yang tenang, menciptakan simfoni lembut yang seakan mengisi ruang kosong dalam hatiku. Aku sadar bahwa ada bagian dari diriku yang masih terikat pada kenangan ini, pada kota ini, dan pada keluarga yang kini hanya bisa kuingat dalam bayangan.


Bibi duduk di hadapanku, menyuguhkan secangkir teh hangat yang aroma jahe dan serehnya langsung membangkitkan nostalgia. Aku memandang ke dalam cangkir, menghirup dalam-dalam aroma yang menenangkan, sebelum mengangkat pandanganku pada wajahnya yang penuh dengan ketulusan. Bibi tersenyum, senyum yang kukenal sebagai tanda bahwa dia mengerti lebih dari yang kukatakan.

"Sudah bisa melupakan masa lalu, Nak?" tanyanya pelan, nada suaranya lembut namun sarat dengan makna, dia tahu apa yang menjadi alasan sesungguhnya aku kembali ke kota ini.

Aku hanya bisa tersenyum samar, mengangkat cangkir tehku lagi dan menyesapnya perlahan. Rasa hangat teh yang mengalir di tenggorokanku terasa seperti pelukan yang menyambutku setelah bertahun-tahun pergi. "Bukan melupakan, Bi," jawabku dengan suara pelan, seolah takut jika aku mengatakannya terlalu keras, perasaan ini akan runtuh begitu saja. "Mungkin… Dira datang ke sini justru untuk mengingat kembali. Untuk merasakan lagi semua yang sudah lama Dira coba tinggalkan.”

Bibi mengangguk perlahan, menyimpan pandangannya pada wajahku. "Memang, kadang ada yang tak pernah benar-benar bisa hilang, ya." Katanya dengan nada yang penuh kebijaksanaan. "Kota ini selalu ada, menunggu kita pulang, menyimpan semua cerita yang pernah kita tinggalkan. Di sini, setiap sudutnya punya jejakmu dan—" Bibi menghentikan kata-katanya, seolah ingin membiarkanku menafsirkan sisa kalimatnya sendiri.

Aku mengangguk, membiarkan keheningan mengisi ruangan untuk beberapa saat. Ada rasa sesak yang mengambang di udara, rasa yang terlalu sulit untuk diuraikan kata-kata, namun begitu akrab. Keheningan ini membuatku merasakan kehadiran semua yang telah berlalu, terutama kenangan-kenangan bersama orang-orang yang aku sayangi. Dan dia, yang pernah menjadi alasan utama aku meninggalkan kota ini. Dan sekarang, entah mengapa, perasaan itu terasa begitu dekat, begitu nyata, seolah-olah waktu tak pernah benar-benar menghapus jejaknya.

Setelah beberapa saat, Paman datang menghampiri, membawa beberapa tas bawaanku ke kamar. "Kamu istirahat dulu, ya, Ra. Perjalanan jauh pasti melelahkan," katanya lembut sambil tersenyum hangat.

Aku bangkit berdiri, mengikuti langkah Paman menuju kamar kecil di sudut rumah, kamar yang dulu sering kutempati saat menginap di sini. Saat pintu kamar terbuka, aku tersenyum sendiri. Kamarnya masih sama, sederhana dan tenang, dengan tembok berwarna krem yang kini mulai mengelupas di beberapa bagian. Di sudut ruangan, ada sebuah jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang rumah. Di dekat jendela itu, berdiri kursi kayu tua tempat Ayah dulu sering duduk membaca koran pagi, dengan cahaya matahari yang menerobos masuk dari celah tirai. Aku menatap kursi itu sejenak, dan untuk beberapa detik, rasanya seperti aku bisa melihat Ayah duduk di sana, tersenyum padaku seperti dulu.

Membiarkan tas di lantai, aku duduk di kursi itu, membiarkan diriku tenggelam dalam suasana yang begitu akrab. Dari balik jendela, aku bisa melihat hujan yang masih turun, semakin deras, seolah menyambutku kembali dengan irama yang tak asing. Hujan selalu menjadi saksi bisu dari semua yang pernah kualami di kota ini—tawa dan tangis, perpisahan dan harapan.

Aku memejamkan mata, ingatanku membawaku kembali ke masa lalu, ke hari-hari di mana aku dan Arga berjalan bersama di bawah hujan, tanpa payung, membiarkannya membasahi kami. Bagaimana dia selalu tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya yang basah, berkata bahwa hujan adalah tanda bahwa langit sedang memeluk bumi. Dulu, kata-kata itu selalu membuatku tertawa, namun sekarang, kata-kata itu terasa begitu bermakna, seperti pesan yang hanya bisa kutangkap setelah bertahun-tahun berlalu.

Sambil mendengar suara hujan yang berbenturan, ku berbisik pada diriku sendiri, "Apakah ini alasan aku kembali? Agar aku bisa menyimpan kembali semua rindu yang pernah aku tinggalkan di sini? Semua cinta dan kenangan yang pernah kurasakan di kota ini?"

Hujan itu, dengan iramanya yang tak pernah berubah, terasa seperti meretas sunyi di dalam hatiku. Setiap tetesnya, membawa kembali semua yang telah hilang, semua yang pernah aku coba lupakan, kini kembali hadir, walau hanya dalam ingatan. Di antara gemericik yang jatuh, aku merasa kota ini berbicara padaku, memintaku untuk menerima kembali semua yang pernah kulepaskan, semua yang pernah kusembunyikan jauh di sudut hatiku.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diriku yang dipenuhi rasa sesak dan hangat sekaligus. Di antara rintik hujan ini, aku merasa semua kenangan dan perasaan yang belum sempat tuntas kini kembali mengalir, meresap, memenuhi hati yang perlahan-lahan mulai lupa caranya menunggu.

 Di antara rintik hujan ini, aku merasa semua kenangan dan perasaan yang belum sempat tuntas kini kembali mengalir, meresap, memenuhi hati yang perlahan-lahan mulai lupa caranya menunggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa vote dan comment. Tambahkan juga cerita ini ke daftar  perpustakaanmu agar kamu mendapat notifikasi saat update.

Jejak Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang