O8 : Kata yang sulit terucap

22 7 0
                                    

Tinggalkan jejakmu, dengan cara Vote dan Comment.

Aku berdiri di ambang pintu, mengatur napas yang seolah sulit dikendalikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku berdiri di ambang pintu, mengatur napas yang seolah sulit dikendalikan. Di ruang tamu, Arga menunggu dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Perpaduan antara canggung dan senyum tipis yang entah kenapa justru membuat jantungku semakin berdebar.

"Dira," sapanya singkat, mengangguk kecil sambil tersenyum. Suaranya tetap familiar, namun juga membawa perasaan asing dalam waktu yang bersamaan.

"Arga," jawabku pelan, sedikit bingung harus berkata apa. Kami berdiri saling menatap sejenak, sebelum aku mengisyaratkan dia untuk duduk di sofa.

Ia duduk di sofa berhadapan denganku, suasana terasa hening, seakan setiap kata yang mungkin ingin terucap tertahan di ujung lidah. Aku mencoba mengatur emosi, menyadari betapa aneh rasanya bertemu lagi dengannya dalam situasi seperti ini. Tanpa tawa atau candaan, hanya keheningan yang menggantung di udara.

"Kamu... apa kabar?" akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka percakapan.

Dia mengangguk, tersenyum tipis. "Baik. Sama seperti biasa... hanya mungkin agak lebih sibuk."

Aku mengangguk, ikut tersenyum. Rasanya aneh, berbicara dengan Arga dengan cara yang begitu formal dan hati-hati. Kami dulu bisa berbicara tentang apa saja, dari hal-hal konyol hingga hal yang paling serius sekalipun. Namun, sekarang, ada jarak yang terasa tak terucap di antara kami.

"Kamu sendiri gimana, Dir? Sejak pertemuan kita terakhir itu di pameran, ya? Apa kamu sekarang masih melukis?" tanyanya dengan senyum yang nyaris tak berubah. Ada sedikit kehangatan dalam nadanya, meski kutahu itu diselubungi dengan hati-hati.

"Ya...," aku sedikit tersipu. ,"aku sempat berhenti, tapi baru kemarin mulai lagi, itu juga karena dorongan dari teman baruku."

"Oh, jadi udah ada yang bisa ngerayu kamu buat mulai ngelukis lagi?" tanyanya, terdengar setengah bercanda. Namun, ada sedikit nada penasar dalam pertanyaannya.

Aku tertawa kecil, meski agak kaku. "Bukan dirayu sih, lebih tepatnya... dimotivasi. Setelah sekian lama akhirnya aku bisa nyentuh kuas lagi, ya meskipun hasilnya agak berantakan."

Arga tertawa pelan, dan suara tawanya langsung membawa kembali bayangan dari masa lalu. Tawanya yang khas, membuatku teringat pada kenangan-kenangan yang pernah kami bagi bersama. Meski hanya tawa sederhana, tetapi itu cukup untuk menghidupkan kembali perasaan hangat yang sempat pudar.

"Mungkin kamu cuma butuh waktu, Dir. Seni itu kan soal rasa. Nggak bisa dipaksakan," ucapnya sambil menatapku. "Kamu dulu selalu bilang gitu ke aku, waktu aku nyoba-nyoba main gitar padahal menurutku saat itu nggak punya bakat."

Aku tersenyum, mengenang saat-saat ketika aku memang sering berkata begitu kepadanya. "Iya... tapi akhirnya kamu malah ketagihan dan ngotot main gitar terus, bahkan sampai mainin di kelas juga," jawabku.

Jejak Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang