OO : Prolog

96 16 1
                                    

Aku tiba di stasiun Bandung dengan sebuah koper kecil di tangan, menyadari betapa dinginnya udara yang menyambut di luar. Hujan deras turun dari langit kelabu, membuat jalanan basah dan aroma khas tanah yang tercium begitu dalam. Payung-payung berwarna-warni menyemut di sekitar stasiun, melindungi orang-orang dari derasnya hujan. Mereka berjalan terburu-buru, tenggelam dalam riuh suasana kota yang tetap hidup meski dibalut kabut dan air hujan.

Aku menarik napas dalam-dalam, berharap bisa menghilangkan perasaan asing yang tiba-tiba mengusik hatiku. Tetapi, udara dingin dan suara hujan malah membawa pikiranku kembali pada satu nama, satu kisah yang pernah aku tinggalkan di kota ini: Arga. Sudah berapa tahun berlalu sejak kami berpisah? Empat? Lima? Entahlah. Namun, saat ini, hujan seakan mengalirkan kembali kenangan yang sengaja kusimpan rapat-rapat, seperti arus deras yang tak bisa lagi kubendung.

Aku berdiri di bawah atap stasiun, memandangi trotoar yang dipenuhi jejak-jejak kaki yang berlalu lalang, berbaur dengan percikan air yang jatuh dari payung dan mobil yang melintas. Di tempat ini, aku merasa seperti tersedot ke masa lalu. Bandung selalu begini. Kota yang menyimpan kenangan, memelihara sisa-sisa cerita yang pernah kukira sudah memudar. Setiap tetes hujan seolah-olah menjadi bagian dari kisah yang pernah kami lukis bersama, perlahan-lahan memunculkan gambar-gambar buram yang mulai terhapus.

Aku teringat pada saat-saat ketika Arga dan aku sering berteduh di bawah payung yang sama, bersembunyi dari rintik-rintik hujan yang sering turun mendadak. Ia selalu menggenggam tanganku erat, memastikan aku hangat di tengah udara dingin yang menggigit. Ada canda, ada tawa, ada kerinduan yang selalu mengalir dalam diam di antara kami, tertahan oleh rasa takut untuk mengungkapkan lebih dari yang kami mampu.

Langkahku terhenti di depan gerbang stasiun, memandang jalan yang menuntunku ke berbagai arah, mengajak untuk memilih. Payungku masih terlipat di tangan, dan untuk beberapa saat, aku tak tergoda untuk membukanya. Mungkin aku ingin hujan ini menyentuh kulitku, seakan berharap ia bisa membasuh perasaan yang masih tertinggal.

Apakah mungkin? Apakah semua kenangan yang tersembunyi ini akhirnya akan memudar, seperti lukisan yang mulai pudar di atas kanvas tua? Atau, mungkin saja, hujan ini datang untuk mengingatkanku bahwa ada hal-hal yang tak akan pernah sepenuhnya hilang—seperti cinta yang pernah kami bagi, dan kerinduan yang belum tuntas.

Di tengah gerimis yang mulai reda, aku melangkah keluar stasiun. Dengan perlahan kubuka payung, membiarkan langkahku membawa ingatan ini kembali, menyusuri jalan yang pernah kulewati bersama Arga. Ini bukan sekadar hujan, melainkan sisa-sisa kenangan yang turun perlahan, meretas hati yang berusaha melupakan.

 Ini bukan sekadar hujan, melainkan sisa-sisa kenangan yang turun perlahan, meretas hati yang berusaha melupakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa vote dan comment. Tambahkan juga cerita ini ke daftar  perpustakaanmu agar kamu mendapat notifikasi saat update.

Jejak Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang