O9 : Di Bawah Langit Braga

17 8 1
                                    

Tinggalkan jejakmu, dengan cara Vote dan Comment.

Langit sore Bandung tampak mulai merona keemasan ketika aku dan Raka berjalan menyusuri kawasan Braga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit sore Bandung tampak mulai merona keemasan ketika aku dan Raka berjalan menyusuri kawasan Braga. Jalan yang dipenuhi bangunan-bangunan tua dengan lampu-lampu jalanan yang mulai menyala satu per satu menciptakan suasana yang hangat. Raka tersenyum sambil menatap sekeliling dengan antusias, sementara aku berusaha mengalihkan pikiranku, berfokus pada obrolan kami. Sejak awal, dia yang mengajak jalan-jalan, dan aku merasa tak ada salahnya menerima ajakannya. Aku ingin menikmati hariku, meskipun, diam-diam, hatiku masih terbayang oleh pertemuan dengan Arga kemarin.

"Kamu suka tempat ini?" Raka bertanya, menoleh padaku.

"Iya, suka. Braga memang selalu punya daya tarik tersendiri dari dulu," jawabku sambil tersenyum tipis, mencoba menunjukkan antusiasme yang sama.

"Aku senang kamu mau ke sini," katanya, lalu menambahkan dengan nada canda, "awalnya aku kira kamu bakal menolak mentah-mentah."

Aku tertawa kecil. "Kalau jalan-jalan nggak ada salahnya. Lagi pula, aku juga senggang dan butuh hiburan."

Raka tersenyum lebar, tampak senang. Kami melanjutkan berjalan beriringan, membicarakan hal-hal sederhana yang ringan. Dia bercerita tentang pekerjaannya, tentang kesibukannya mencari inspirasi untuk lukisannya, dan bahkan tentang kegemarannya yang aneh-aneh. Mulai dari mengoleksi kaset musik lawas hingga mencoba semua jenis kopi di kafe-kafe Bandung. Suasana menjadi lebih hangat dan santai, membuatku merasa nyaman dalam obrolan kami.

Akan tetapi, tak bisa dipungkiri, setiap aku melihat bangunan tua yang memancarkan nostalgia di sepanjang Braga, pikiranku kembali tertarik ke masa lalu. Di tempat inilah dulu aku dan Arga sering menghabiskan waktu bersama. Kenangan itu begitu kuat, begitu dalam, hingga meskipun aku berusaha mengabaikannya, bayangan Arga seolah-olah hadir kembali di setiap sudut jalan ini.

Langit di atas Braga sudah mulai memerah saat aku dan Arga dulu berdiri di tengah keramaian. Sama seperti saat ini. Waktu itu, jalanan penuh dengan alunan musik dari musisi jalanan yang memainkan lagu-lagu jazzy, memberikan suasana yang hangat dan penuh nostalgia. Aku masih ingat betul, Arga menggenggam tanganku dengan lembut, menatap mataku penuh senyum sambil berkata, "Mau menari sama aku?"

Aku sempat menertawakan ide itu, merasa sedikit malu. Namun, Arga tetap tersenyum, menarik tanganku dengan lembut ke tengah trotoar. Orang-orang sesekali melirik, tetapi Arga tidak peduli—seakan hanya ada kami berdua di dunia ini. Dia mulai bergerak perlahan, mengayunkan tubuhnya ke irama musik yang lembut, dan dengan canggung aku mengikuti langkahnya. Meski aku sering menginjak kakinya atau kehilangan ritme, Arga hanya tertawa kecil dan tetap membimbingku, semua gerakanku yang kikuk itu adalah hal yang manis baginya.

Ketika musik mulai berganti dengan lagu yang lebih lambat, dia menarikku mendekat, hingga aku bisa merasakan degup jantungnya yang tenang. Dia menatapku, matanya yang dalam seakan berkata bahwa momen itu adalah segalanya baginya. Aku kehilangan kata-kata, terbuai dalam tatapan dan sentuhan hangatnya. Di bawah cahaya temaram lampu-lampu jalanan Braga, kami menari tanpa bicara, tanpa memikirkan apa pun. Hanya kami berdua dan melodi indah yang mengisi senja itu.

Jejak Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang