Tinggalkan jejakmu, dengan cara Vote dan Comment.
Setelah pertemuan dengan Raka, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Mungkin karena ia berusaha mengenalku lebih dekat, mungkin juga karena kata-katanya yang menyenangkan, yang membuat perasaan ini sedikit lebih terbuka. Namun, meskipun aku merasa ada harapan baru yang datang, bayangan masa lalu tetap menghantui pikiranku.Hari ini, aku memutuskan untuk tidak pergi ke mana-mana. Hanya aku, kanvas, dan kuas di dalam kamar, ditemani suara hujan yang jatuh pelan di luar sana. Dingin yang terasa begitu menyegarkan, ada sesuatu yang menyesakkan di dada, ada kenangan yang ingin keluar.
Dengan hati yang penuh campur aduk, aku mulai mencelupkan kuas ke dalam cat dan menggoreskan warna pada kanvas. Setiap sapuan kuas, anehnya, kembali membawaku ke masa lalu. Masa-masa yang tak pernah benar-benar hilang, meski aku berusaha melupakan.
Tiba-tiba, ingatan itu datang begitu saja. Aku teringat pada suatu pagi di SMA, saat Arga dan aku memutuskan untuk bolos bersama. Ini ide Arga, tentu saja. Dia selalu punya cara untuk meyakinkanku melakukan hal-hal yang mungkin tidak terlalu bijak, tetapi selalu menyenangkan.
Saat itu, pagi hari di SMA, matahari masih tampak malu-malu muncul di balik awan, dan suasana sekolah begitu tenang. Namun Arga, dengan ide-ide gilanya, mendatangiku yang berada di kelas saat jam pertama dan berbisik, "Dir, bolos yuk."
Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya, tertawa kecil tapi merasa tertantang. "Serius? Kalau sampai ketahuan, kita bisa kena masalah besar."
Arga hanya mengangkat bahu, mengulas senyum jahilnya yang selalu membuatku tak bisa menolak. "Ayo, sekali aja. Ini bakal seru!"
Tanpa perlu banyak bujukan, aku akhirnya mengangguk setuju. Kami menunggu hingga bel berbunyi tanda masuk kelas, lalu diam-diam menyelinap keluar melalui gerbang samping sekolah. Seperti anak kecil yang sedang melakukan petualangan terlarang, kami berlari kecil, sesekali tertawa pelan, memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan.
"Dir, cepat lari, kita bisa ketahuan," katanya, menahan tawanya sambil melihat ke arahku yang berusaha menjaga agar langkahku tidak terlalu mencolok.
Kami akhirnya sampai di pinggir jalan, dan aku melihat napas Arga yang sedikit terengah, wajahnya merah dengan tawa yang masih tertahan. Ada sesuatu yang begitu hidup dalam dirinya pagi itu, seakan kejahilan kecil ini adalah kebahagiaan sederhana yang ia dambakan.
"Arga, kamu memang aneh. Cuma untuk makan bakso, harus bolos segala," kataku sambil tertawa.
Arga tersenyum lebar, menatapku dengan penuh arti. "Bukan cuma soal bakso, Dira. Soal kebersamaan kita. Kalau sama kamu, bakso ini rasanya bisa beda. Kamu tahu kan?"
Aku merasakan pipiku memanas. Bagaimana mungkin, bahkan di saat seperti ini, ia bisa bicara dengan nada yang membuatku tersipu?
"Itu sih, akal-akalan kamu aja. Padahal, pulang sekolah juga bisa." Arga hanya terkekeh merespon ucapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Hujan
RomanceDi bawah langit yang kelabu, aku dan dia bertemu kembali setelah sekian lama. Hujan menjadi saksi atas kisah lama kami yang kembali mengalir. Mengingatkan pada rindu yang tertinggal dan perasaan yang belum tuntas. Di antara kanvas yang pernah kami l...