Langit sore menghampar di atas kota, merah merona dengan semburat jingga yang berpadu indah di cakrawala. Seakan warna-warna senja itu turut menyaksikan kebersamaan Mira dan Andri yang semakin hangat setiap harinya. Di ruang fakultas, di kedai kopi favorit mereka, atau bahkan saat duduk berdua di taman kampus, Mira mulai merasa bahwa Andri benar-benar membawa semacam kedamaian yang telah lama ia rindukan. Laki-laki itu mengisi kehidupannya dengan keceriaan, kesederhanaan, dan sikap yang tak dibuat-buat, yang entah bagaimana bisa menghangatkan hatinya. Andri adalah pria dengan pemikiran yang dewasa, namun cara bicaranya yang santai sering kali membuat Mira terhibur. Dua tahun lebih muda darinya, tetapi ada kebijaksanaan yang tumbuh alami dalam dirinya.
Di sela-sela kesibukan, Andri dan Mira kerap berbagi cerita. Mereka mulai membuka diri satu sama lain, mengurai kisah-kisah masa lalu yang pernah mereka lewati. Andri menceritakan pengalamannya sebagai dosen muda yang tidak hanya berurusan dengan akademis, tetapi juga menghadapi segala tantangan hidup seorang diri setelah kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kesedihan yang pernah dialaminya tak sedikit, namun dia bangkit dengan penuh keberanian, menjadikan dirinya pria yang dewasa dalam bertindak dan berpikir. Cerita-cerita itu membuat Mira semakin menghargai kehadiran Andri, seorang yang berusaha menghadirkan kebahagiaan bagi sekitarnya, meskipun ia sendiri pernah terluka dalam.
Di suatu sore yang tenang, ketika mereka sedang berbicara sambil menikmati kopi di kedai kampus, Andri menatap Mira dengan sorot mata yang berbeda. Ada kesungguhan yang memancar dari wajahnya. Setelah beberapa detik terdiam, Andri menghela napas dalam, dan dengan suara lembut, ia berkata, “Mira, maukah kamu memiliki hubungan serius denganku?”
Mira terdiam, terpaku menatap wajah Andri. Di balik tatapan hangat Andri, ada ketulusan yang mampu menggugah perasaannya. Tapi sekelebat bayangan Rasyid melintas di kepalanya. Mira masih ingat betapa dulu ia bahagia bersama Rasyid, betapa lelaki itu adalah pelabuhan hatinya. Namun kini Rasyid telah pergi tanpa meninggalkan kepastian, tanpa memberi ruang untuk harapan lagi. Dengan berat, Mira menyadari bahwa hidup harus terus berjalan, meski tidak lagi sama seperti dulu.
Dengan suara yang lirih tapi pasti, Mira menjawab, “Aku mau, Andri.”
Andri tersenyum penuh kebahagiaan, lalu dengan lembut mengecup kening Mira dan memeluknya erat. Hangatnya pelukan Andri meresap ke dalam hati Mira, membuatnya merasa bahwa ada cinta baru yang bisa ia bangun lagi. “Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk mencintaimu, Mira. Aku janji akan selalu membuatmu bahagia,” bisik Andri dengan nada yang penuh kasih.
Sejak hari itu, hubungan mereka semakin erat. Perlahan-lahan, Mira mulai belajar mencintai Andri, membiarkan dirinya merasakan kebahagiaan yang Andri tawarkan. Setiap harinya, Andri tak henti-hentinya memberi kejutan kecil pada Mira, seperti memberi bunga yang ia berikan tanpa alasan, hadiah-hadiah sederhana yang penuh perhatian, atau sekadar senyuman dan pelukan hangat saat mereka bertemu. Andri benar-benar tahu cara menyentuh hati Mira dengan kelembutan dan romantisme yang sederhana.
Di dalam perjalanannya, Mira mulai merasa dicintai dengan tulus. Andri adalah sosok pria yang berbeda, penuh perhatian namun tanpa tuntutan, selalu berusaha menghadirkan kebahagiaan bagi Mira dengan caranya sendiri. Di antara sentuhan-sentuhan kecil yang Andri berikan, Mira menemukan kedamaian baru. Namun, meskipun kebahagiaan itu semakin nyata, Mira tak dapat sepenuhnya melupakan sosok Rasyid. Ingatan akan masa lalu itu kadang muncul di sela-sela kebahagiaannya, seperti bayang-bayang yang tak bisa dihapus begitu saja.
Suatu hari, saat mereka sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah acara kantor, Mira merasa sakit di ulu hati. Gejala GERD yang sudah sering ia alami datang kembali. Dengan suara pelan, ia berkata pada Andri, “Andri, bisa berhenti di apotek sebentar? Aku butuh beli obat.”
Andri segera menepi di depan sebuah apotek kecil. “Aku tunggu di mobil, ya,” katanya sambil tersenyum hangat.
Mira turun dari mobil dan melangkah masuk ke apotek, lalu langsung menuju meja apoteker. Dengan tenang, ia meminta obat GERD yang biasa diminumnya kepada petugas. Namun tiba-tiba, perhatian Mira teralihkan oleh sosok seorang pria tua yang tampak sangat lemah dan kesakitan. Pria itu memiliki tubuh kurus, mengenakan hoodie usang dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Langkahnya goyah, dan tak lama kemudian ia terjatuh di hadapan Mira.
“Ayo, Pak, saya bantu,” ujar Mira seraya membantu pria itu bangkit dan membawanya duduk di kursi tunggu. Ia bisa melihat betapa kesakitan pria tua itu, napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mengalir deras di keningnya.
“Bapak ingin beli obat apa? Biar saya bantu,” tawar Mira.
Dengan tangan bergetar, pria itu menyerahkan secarik resep dokter dan sejumlah uang kepada Mira. Melihat kondisi pria itu yang hampir tak berdaya, Mira segera mengambil resep itu dan membacanya. Di sana tertulis, Oxycotin 40mg, diminum 2x1.
Mira melangkah ke meja apoteker dan menyerahkan resep tersebut. Petugas apotek memandangnya penuh perhatian, lalu bertanya, “Ini untuk siapa, Mbak? Obat ini cukup kuat, biasanya untuk pasien kanker.”
Mira langsung menjawab sambil menoleh ke pria tua yang tengah duduk menahan rasa sakit, “Itu untuk Bapak yang di sana,” katanya singkat.
Setelah obatnya selesai disiapkan, Mira menyerahkan obat itu kepada pria tua tersebut. Dengan penuh rasa syukur, pria itu menerima obatnya, lalu menatap Mira dari balik masker. Ada sekelebat kesedihan yang melintas di matanya, namun ia tidak mengucapkan apa-apa. Hanya anggukan kecil yang pria itu berikan sebagai tanda terima kasih.
Sementara itu, di dalam mobil, Andri yang merasa Mira sudah terlalu lama tak kunjung kembali akhirnya memutuskan untuk menyusul. Ia masuk ke dalam apotek dan mendapati Mira baru saja keluar dengan kantong obat di tangannya.
“Sudah, Sayang?” sapa Andri dengan lembut sambil meraih tangan Mira.
Mira mengangguk dan tersenyum, menunjukkan kantong obatnya. Mereka berdua berjalan keluar dari apotek, sementara pria tua itu hanya menatap mereka dengan mata yang penuh kesedihan. Dalam keheningan yang sunyi, ia hanya bisa melihat punggung Mira yang semakin menjauh, tak lagi menoleh ke arahnya.
Di dalam mobil, Mira duduk terdiam, merenungkan pertemuan singkat tadi. Ada sesuatu yang terasa ganjil. Aroma tubuh pria tua itu, meskipun samar, terasa begitu familiar baginya. Sebuah kenangan seolah menyeruak, namun ia tak mampu benar-benar mengingatnya. Mira menggeleng, mencoba menepis bayangan itu.
Andri yang memperhatikan Mira terdiam mulai bertanya, “Ada yang mengganggu pikiranmu, Sayang?”
Dengan suara pelan, Mira menjawab, “Tadi aku bertemu seorang pria tua di apotek. Dia sakit parah, mungkin kanker stadium lanjut, dan dia beli obat sendirian. Kasihan sekali, tak ada yang menemani.”
Andri menghela napas panjang, menatap Mira penuh pengertian. “Kasihan, ya. Hidup sendirian dengan penyakit seperti itu pasti berat.”
Mira mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa iba. Dalam diam, ia merenungkan betapa berbeda hidupnya sekarang, betapa beruntung dirinya memiliki Andri di sampingnya, orang yang selalu memberikan dukungan tanpa syarat. Meski begitu, rasa iba yang dirasakannya untuk pria tua tadi tak kunjung hilang, menyisakan kesan mendalam yang sulit dijelaskan.
Yang tak diketahui Mira adalah kenyataan menyakitkan di balik pertemuan singkat itu. Pria tua yang duduk di kursi apotek dengan tubuh lemah dan wajah tertutup masker itu adalah Rasyid, sosok yang dulu mengisi hatinya dengan kehangatan. Waktu telah mengubahnya menjadi sosok yang nyaris tak dikenali, tubuhnya digerogoti kanker, wajahnya kuyu, dan semangat hidupnya redup. Rasyid hanya bisa menahan kesakitan dan memandang Mira dari kejauhan, melihat kebahagiaan yang kini tak lagi mungkin ia berikan.
Rasyid tahu bahwa pertemuan itu hanyalah sebuah kebetulan yang tak akan terulang. Di antara sakit yang tak berkesudahan, ia menyadari bahwa inilah takdir yang harus ia terima, hidup dalam bayangan cinta yang telah ia lepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Love Two Souls [END]
RomanceTerkadang ada seseorang yang hadir di dalam hidup hanya untuk dicintai di dalam hati saja bukan untuk dimiliki oleh kehidupan nyata. ~Miranti~