Enam

393 44 7
                                    

Dua bulan telah berlalu sejak Rasyid mengalami serangan stroke yang mengakibatkan koma panjang. Setiap hari, Mira menyempatkan diri datang ke rumah sakit untuk menemani Rasyid, melewati waktu di samping ranjang pria yang pernah mengisi hidupnya. Di sela-sela kesibukannya, ia duduk di sisi tempat tidur Rasyid, menggenggam tangan kiri yang masih menunjukkan sedikit tanda-tanda kehidupan, meskipun kini hanya ujung jari yang sesekali bergerak perlahan. Keadaan Rasyid yang terbujur lemah membuat Mira merasakan nyeri yang dalam. Ia kerap menghindar dari Andri, menyembunyikan kunjungannya ke rumah sakit, takut jika Andri akan salah paham atau kecewa jika mengetahui Mira masih memperhatikan masa lalunya yang kini tertidur dalam keadaan yang memprihatinkan.

Rasyid masih berada dalam cengkeraman kanker otak stadium akhir, penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya dari dalam. Setelah serangan stroke yang ia alami tiga bulan lalu, kondisi otaknya semakin memburuk, memperparah kelumpuhan di tubuhnya dan mengakibatkan komplikasi yang begitu kompleks. Namun, tepat setelah tiga bulan tak sadarkan diri, dokter memutuskan untuk memindahkannya dari ICU ke ruang rawat biasa. Operasi pengembalian tempurung kepalanya yang sempat diangkat untuk mengurangi tekanan dalam otak akhirnya berhasil, dan kondisi vitalnya dinyatakan cukup stabil meskipun jauh dari kata pulih.

Selang ventilator yang dahulu menopang napasnya kini sudah dilepas, menyisakan lubang kecil di lehernya sebagai jalan pernapasan alternatif yang dikenal dengan istilah medis sebagai trakeostomi. Tabung ini masih dibiarkan di sana sebagai cadangan, berjaga-jaga bila ia kembali membutuhkan bantuan pernapasan. Melihat kondisi Rasyid, Mira merasakan campuran perasaan antara iba, sedih, dan kenangan yang menyeruak, seakan waktu berjalan mundur ke masa-masa ia pernah mencintai pria ini dengan sepenuh hati.

Di ruang rawatnya yang redup, tubuh Rasyid terbaring kaku, kurus seperti tulang berbalut kulit yang nyaris tak berdaya. Wajahnya tampak berubah; sebelah bibirnya miring ke bawah, sebuah tanda dari kelumpuhan akibat stroke, sementara air liur menetes perlahan dari sudut bibir yang tidak bisa lagi ia kendalikan.

Mira duduk di samping ranjang Rasyid, memperhatikan setiap detail tubuhnya yang lemah. Tangan kirinya menggenggam tangan kiri Rasyid, yang masih bisa bergerak sedikit meski hanya pada ujung-ujung jarinya. Di depan dada Rasyid, tangan kanannya tetap kaku dan tidak bisa digerakkan, ototnya terus bergetar dalam tremor yang tidak terkendali. Kondisi ini dikenal dalam dunia medis sebagai hemiplegia spastik, di mana kelumpuhan akibat kerusakan otak membuat tubuh kehilangan kendali motorik, sehingga otot-otot tertentu tetap dalam keadaan tegang dan kaku. Getaran yang tidak terkendali pada tangan kanannya adalah efek dari kerusakan saraf yang ditinggalkan oleh stroke, seolah tubuh Rasyid masih melawan dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki.

Meski Rasyid kini berada di ruang rawat biasa, kondisinya tetap rapuh. Luka bekas operasi di kepalanya masih terlihat jelas, dan rambut di sekitarnya mulai tumbuh kembali meski jarang. Dari wajahnya, tampak jelas penderitaan yang pernah ia lalui dan luka yang belum sepenuhnya sembuh, meninggalkan jejak pilu di hati Mira. Mata Rasyid di sisi yang lumpuh masih setengah tertutup, sementara sisi lainnya tampak kosong, tanpa ekspresi, seolah-olah jiwanya belum sepenuhnya kembali. Kondisi kelumpuhan di wajahnya, dikenal sebagai paralisis fasialis, membuat ia kehilangan kemampuan menggerakkan otot-otot wajah di satu sisi, yang menyebabkan mata dan mulutnya tampak tidak simetris. Mira merasa hatinya hancur setiap kali melihat ketidakberdayaan itu.

Waktu seakan berjalan lambat di ruang rawat itu. Mira duduk dalam diam, hanya ditemani deru lembut alat-alat medis yang sesekali berbunyi. Ia memandangi wajah Rasyid dengan tatapan penuh perasaan, mengenang saat-saat bahagia yang pernah mereka lalui. Dalam kepalanya, berbagai kenangan masa lalu melintas silih berganti, namun ia tahu bahwa dirinya tak bisa larut dalam nostalgia itu. Ia hanya ingin hadir di sisi Rasyid, memberikan secercah rasa damai di tengah penderitaannya, meski tanpa kata-kata.

Dokter sempat menjelaskan kepadanya bahwa kemungkinan Rasyid untuk pulih sepenuhnya hampir tidak ada. Kanker otaknya berada pada stadium akhir, dan sel-sel ganasnya telah menyebar ke berbagai bagian otak yang mengontrol fungsi-fungsi vital tubuh. Meskipun Rasyid berhasil melewati krisis stroke yang nyaris merenggut nyawanya, kerusakan otak yang telah terjadi tidak bisa diperbaiki. Bahkan, menurut dokter, kondisi ini hanya akan membuatnya semakin lemah dan semakin jauh dari kesadaran. Dengan nada tenang, dokter memberitahu Mira bahwa yang bisa mereka lakukan kini hanyalah menjaga agar Rasyid tetap nyaman, mengurangi rasa sakit yang mungkin ia rasakan.

Setiap kali datang, Mira memperhatikan perubahan kecil dalam tubuh Rasyid. Ia mulai memahami setiap detil tanda-tanda medis, seperti pergerakan kecil di jari atau getaran halus pada otot-ototnya, yang mengisyaratkan seberapa keras tubuh Rasyid bertahan. Namun, meski ia berharap, ia juga sadar bahwa tubuh yang tergolek di hadapannya mungkin tidak akan pernah benar-benar kembali pulih.

Salah satu suster yang bertugas, Suster Ayu, sering mendampingi Mira selama kunjungannya, menjelaskan kondisi medis Rasyid dengan lembut. "Kelumpuhan di sisi tubuhnya ini akibat stroke yang menyerang area otak kiri," ujar Suster Ayu suatu hari. "Area ini mengontrol pergerakan di sisi kanan tubuh dan beberapa fungsi vital lainnya. Sisi tubuh yang lumpuh menjadi kaku dan sulit digerakkan. Kami hanya bisa mencoba membuatnya merasa lebih nyaman."

Di sela-sela harinya, Mira sering menahan isak, memikirkan perjuangan Rasyid yang harus bertahan dengan tubuh yang seakan terkunci dalam ketidakberdayaan. Terkadang, tanpa ia sadari, air matanya mengalir perlahan saat mengusap tangan Rasyid yang kurus. Kehadiran Andri yang terus mendukungnya, tanpa mengetahui apa yang Mira sembunyikan, membuat Mira merasa bersalah. Namun, di sisi lain, perasaan simpatinya pada Rasyid yang masih tertahan di benaknya menghalangi dirinya untuk benar-benar meninggalkan pria itu.

Setiap kali pulang dari rumah sakit, Mira merasa kelelahan, bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Ia seperti membawa beban yang tak terlihat, antara rasa bersalah dan simpati, antara keinginan untuk tetap berada di sisi Andri dan perasaan tak berdaya melihat Rasyid yang terbaring dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Hubungan mereka memang telah lama berakhir, namun dalam kondisi seperti ini, Mira menyadari bahwa perasaan manusia tidak bisa diatur sesederhana itu. Ada luka, ada kenangan, dan ada perasaan yang tak mudah hilang begitu saja, apalagi ketika seseorang yang pernah ia cintai berada di ambang hidup dan mati.

Dalam setiap hembusan napas lemah Rasyid, Mira mendapati dirinya terjebak dalam dilema yang tak terungkapkan. Di satu sisi, ia ingin membebaskan dirinya dari kenangan dan membuka hati sepenuhnya untuk Andri, namun di sisi lain, rasa kasihnya pada Rasyid tetap bertahan dalam hatinya. Dalam keheningan ruang rawat itu, Mira menggenggam tangan Rasyid dengan penuh kasih, berharap bahwa meski tidak bisa diungkapkan dalam kata-kata, kehadirannya bisa menjadi penyejuk bagi jiwa Rasyid yang mungkin masih berjuang di dalam sana.

See U Friday ♥️♥️

One Love Two Souls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang