Hari-hari terasa begitu lambat bagi Mira dan Andri. Setiap kali matahari terbit, ia seolah hanya menyajikan warna-warna kusam yang menggambarkan penderitaan panjang Rasyid. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang disayangi kehilangan dirinya sedikit demi sedikit.
Bagi Mira, Rasyid adalah cerminan kekuatan yang dulu ia kagumi. Pria itu adalah tempat ia berpegang ketika segala sesuatu terasa berat. Namun kini, sosok yang dulu menjadi panutannya hanya tinggal bayangan yang samar. Setiap kali Mira memandang Rasyid, ia seolah melihat dua orang berbeda yang pertama adalah pria tangguh yang dulu ia cintai tanpa syarat, dan yang kedua adalah tubuh rapuh yang perlahan menyerah pada kanker otak stadium akhir yang terus menggerogoti hidupnya.
Di ruang perawatan biasa itu, pemandangan Rasyid yang terbaring lemah membuat hati Mira hancur. Tubuhnya yang dulu tegap kini seperti tak lebih dari sekadar tulang yang dibalut kulit tipis. Setiap lekuk tulangnya terlihat jelas di balik selimut rumah sakit yang lusuh. Kulitnya pucat dengan semburat kekuningan. Wajahnya semakin tirus, sementara matanya, yang dulu penuh semangat, kini hanya menyisakan cahaya kecil yang hampir padam. Namun, yang paling menyayat hati adalah senyuman kecil yang terkadang ia berikan, senyuman yang memaksa dirinya untuk terlihat kuat di tengah rasa sakit yang begitu nyata.
Dokter sudah lama memberikan kabar yang menyesakkan dada, kanker otak Rasyid telah mencapai stadium akhir, dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain memberikan perawatan paliatif. Kabar itu seperti palu godam yang menghancurkan setiap serpihan harapan yang masih ada. Mira dan Andri tidak punya pilihan lain selain menerima kenyataan pahit ini. Namun, mereka tidak menyerah. Mereka bergantian menjaga Rasyid, memastikan ia tidak sendirian menghadapi rasa sakit yang menghujam tubuhnya setiap hari.
Pagi itu, Mira duduk di samping ranjang Rasyid, memandanginya dengan mata yang penuh harapan, sekaligus rasa putus asa. Ia ingin sekali membawa Rasyid keluar dari kamar yang penuh aroma obat-obatan dan peralatan medis. Ia ingin rasyid merasakan udara segar taman, mendengar suara burung berkicau, dan melihat langit biru, meskipun hanya sebentar. Dalam hatinya, ia tahu keinginan ini mungkin tidak akan banyak membantu kondisi Rasyid, tetapi setidaknya itu bisa memberikan sedikit momen damai di tengah penderitaan yang ia alami.
Dengan bantuan perawat, Mira meminta agar Rasyid dipindahkan ke kursi roda. Tubuh Rasyid yang sudah kaku harus diikat dengan sabuk pengaman agar tidak jatuh. Wajahnya yang semakin pucat menunjukkan kelelahan yang mendalam. Air liur terus menetes tanpa kendali, membasahi baju rumah sakit yang ia kenakan. Ketika Mira mulai mendorong kursi roda itu menuju taman, Rasyid menggeleng pelan. Tatapannya memohon, seolah-olah ia ingin berkata bahwa ia tidak ingin pergi. Namun Mira hanya tersenyum lembut, menunduk, dan berbisik dengan nada penuh kasih sayang, "Hanya sebentar, Mas. Aku ingin mas Rasyid merasakan udara luar. Kumohon."
Rasyid akhirnya menyerah pada keinginan Mira. Dengan sisa tenaga yang ada, ia tidak melawan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa membahagiakan Mira adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia lakukan, meskipun caranya terbatas. Kursi roda itu didorong perlahan keluar kamar, melewati lorong rumah sakit yang panjang dan sunyi, menuju taman kecil di halaman.
Ketika mereka tiba di taman, suasana terasa berbeda. Udara pagi yang sejuk membawa aroma rumput yang baru dipotong. Anak-anak kecil berlarian di rerumputan hijau, tawa mereka bergema di antara pepohonan. Beberapa orang tua duduk bercengkerama di bangku taman, sementara burung-burung berkicau riang. Namun, suasana cerah itu tidak bisa mengusir kesedihan yang menggantung di hati Mira dan Andri. Keberadaan Rasyid menarik perhatian orang-orang di taman. Tatapan mereka penuh iba, bercampur dengan ketakutan. Mereka menatap Rasyid seperti sedang melihat bayangan kematian itu sendiri.
Rasyid hanya duduk diam di kursi rodanya, memandang Mira dan Andri yang sedang berjalan berdampingan tidak jauh dari sana. Mereka terlihat begitu serasi, berbicara pelan sambil sesekali tersenyum. Di dalam hati, muncul rasa cemburu yang tidak bisa ia hindari. Ia tahu Andri adalah pria yang baik dan bisa memberikan kebahagiaan yang tidak lagi bisa ia berikan pada Mira. Namun ia juga sadar, hidupnya sendiri sudah tidak lama lagi. Dalam hatinya, Rasyid berbicara kepada dirinya sendiri, Aku bahagia kamu telah menemukan penggantiku, Mir. Bahkan dia jauh lebih baik dari aku, yang kini hanya bisa menjadi beban.
Saat itu, seorang ibu yang sedang duduk di bangku taman mendekat. Wajahnya ramah, dan ia tersenyum saat berbicara kepada Mira dan Andri. "Kalian pasangan, ya?" tanyanya sambil melirik mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Kemudian, pandangannya beralih ke arah Rasyid. "Ini siapa?"
Pertanyaan itu sederhana, tetapi seperti pisau yang menusuk hati Mira. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Sebelum ia sempat membuka mulut, Andri menjawab dengan nada tegas, "Ini kakak saya, Bu. Ia sedang sakit. Mohon doakan kesembuhannya, ya."
Ibu itu mengangguk pelan. Namun, tidak lama setelah itu, sebuah insiden terjadi. Rasyid tiba-tiba mulai batuk keras. Tubuhnya terguncang hebat, dan diapers yang ia kenakan bocor. Cairan itu mengalir ke kursi roda, lalu jatuh ke rerumputan di bawahnya. Orang-orang di sekitar taman terkejut, dan beberapa dari mereka langsung memalingkan wajah. Mata Rasyid memerah, dan air mata mulai menggenang. Ia merasa malu. Ia ingin berteriak, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk melakukan apa pun. Ia hanya bisa terisak pelan.
Mira segera berjongkok di samping Rasyid, menggenggam tangannya erat-erat. "Mas, tidak apa-apa," bisiknya lembut. Namun, di dalam hatinya, ia merasa hatinya hancur. Ia tahu betul bahwa rasa malu itu menghancurkan Rasyid lebih dari rasa sakit fisik yang selama ini ia tanggung.
Andri segera mengambil alih, membantu mendorong kursi roda Rasyid kembali ke kamar perawatan. Selama perjalanan, Mira tidak henti-hentinya berusaha menenangkan rasyid. Namun Rasyid hanya bisa menjawab dengan isakan kecil yang terdengar begitu menyayat hati.
Sesampainya di kamar, perawat segera membantu membersihkan tubuh Rasyid. Mereka mengangkat tubuhnya perlahan, mengganti pakaiannya, dan memasangkan diapers baru.
Namun baru saja selesai, tubuh Rasyid tiba-tiba mulai bergetar hebat. Kejang menyerang tanpa peringatan. Mira hanya bisa memegang tangan Rasyid dengan gemetar, mencoba menahan tubuhnya agar tidak terguling dari tempat tidur.Kejang itu begitu kuat, membuat tubuh Rasyid menggeliat tanpa kendali. Para perawat dengan cepat menangani situasi itu, memastikan ia tidak terluka. Selama beberapa menit yang terasa seperti selamanya, tubuh Rasyid terus mengguncang, sementara urin dan kotorannya keluar tanpa terkendali. Mira menahan air mata sambil memeluk tubuh kakaknya yang menggeliat, berbisik pelan, "Kak, aku di sini. Aku di sini."
Ketika kejang itu akhirnya mereda, tubuh Rasyid terkulai lemas. Napasnya terdengar berat dan terputus-putus, seolah-olah setiap helaan adalah perjuangan yang luar biasa. Mira hanya bisa menyeka keringat di dahi kakaknya sambil menggenggam tangannya erat. Ia merasa putus asa, tetapi ia tidak bisa membiarkan kakaknya merasakan itu.
Dokter datang beberapa saat kemudian. Ia memberikan penjelasan yang tidak pernah ingin didengar Mira. "Kanker otaknya telah menyebar lebih jauh. Kejang-kejang seperti ini kemungkinan akan sering terjadi. Kami hanya bisa memberikan perawatan paliatif untuk meringankan gejalanya," katanya dengan nada berat.Malam itu, Mira tetap berada di sisi Rasyid. Ia duduk di kursi kecil di samping ranjang, menggenggam tangan Rasyid dengan erat. Tubuh Rasyid terlihat begitu lemah, napasnya semakin lambat. Tetapi Mira tetap tersenyum kecil, mencoba memberikan ketenangan. Baginya, tugasnya kini adalah memastikan bahwa Rasyid tidak merasa sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Love Two Souls [END]
RomantikTerkadang ada seseorang yang hadir di dalam hidup hanya untuk dicintai di dalam hati saja bukan untuk dimiliki oleh kehidupan nyata. ~Miranti~