Ki Tae-jeong terdiam cukup lama.
"... Melihatmu bertingkah seperti ini, sungguh."
Kemudian, ia menatap tajam tangan Sehwa yang bertumpu pada perutnya, dan menghela nafas panjang melalui ujung hidungnya. Itu saja.
Sehwa menggigit bibirnya yang kering dan pucat. Aku ini apa? Kenapa aku bersikap seperti ini? Ia bahkan tidak bisa bertanya langsung pada pria itu, tapi sikapnya yang malu-malu memberontak menjadi duri tajam yang menusuk hati Sehwa.
Bahkan, jika ia memikirkan tentang ucapan Ki Tae-jeong biasanya, reaksinya saat ini lebih ke arah yang lembut. Dia adalah tipe orang yang mengayunkan pisaunya tanpa ragu-ragu ketika dia bersikap kasar. Bahkan jika melihat fakta bahwa dia tidak marah dan berkata, "Apa yang kamu katakan barusan?" atau bahkan fakta bahwa dia jarang membuat alasan seperti, "Aku tidak bermaksud seperti itu." Sepertinya dia akan membiarkannya begitu saja...
Sisi inilah yang menginterpretasikannya secara berlebihan bahwa Ki Tae-jeong menganggap tindakannya menyedihkan. Dia terus memaknai beberapa hal, merenungkan betapa tidak berharganya Sehwa dimatanya, dan kemudian merasa sedih sendirian. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melakukan hal itu lagi, tetapi dia terus melakukannya setiap saat.
Ada banyak hal yang ingin Sehwa tanyakan. dan katakan. Sama seperti ia mengatakan untuk tidak mengumpat pada bayinya, ia bisa saja bertanya padanya, "Kamu ini apa?" Tetapi tidak mudah untuk melakukan itu, dan ia takut mendengar kata-kata kasar yang sama yang pernah ia dengar dari Ki Tae-jeong sebelumnya, jadi ia hanya emendamnya.
"Pertama, tanda tangan. Entah kau mengutuk anak itu atau tidak, entah kau melahirkan anak itu atau tidak... bagaimanapun juga, itu adalah sesuatu yang harus kau lakukan."
Ketika ia mendekatkan tablet ke depan dan menyentuh layarnya, dokumen-dokumen itu melayang.
Permohonan pendaftaran sebagai wali dari orang hamil.
Layarnya berkedip-kedip dengan pesan yang meminta tanda tangan, seolah-olah rinciannya sudah dimasukkan.
Ki Tae-jeong memegang sudut panel dengan erat agar Sehwa tidak bisa mendorong tablet itu. Dia menjaganya dari jarak yang membuat Sehwa mau tidak mau harus melihatnya, seakan-akan menyuruhnya untuk menerimanya tanpa syarat.
Sehwa menghela napas panjang dan dengan ragu-ragu membetulkan posisi tubuhnya. Ia tidak bisa bangkit dari tempat duduknya karena ia merasa sedang diawasi, tapi ia juga tidak bisa menatapnya. Ia masih duduk di pangkuan Ki Tae-jeong dan hanya membalikkan badannya dengan canggung.
Mengapa Ki Tae-jeong begitu terobsesi untuk mendaftarkan diri sebagai wali? Ia tahu bahwa setelah periode ini berakhir, tidak akan ada jejak Ki Tae-jeong dalam dokumen apa pun, tapi ternyata tidak. Selama dia berada di militer, dia akan menjadi orang yang merasa tidak enak melihat catatan yang ada selamanya.
Selain itu, Ki Tae-jeong termasuk orang yang tidak peduli dengan formalitas. Dia bahkan tidak meminta tanda pengenal Sehwa saat bersamanya, sehingga dia bisa saja menandatangani dan memberi tahunya. Tidak, bukankah itu akan lebih nyaman? Tapi Sehwa tidak mengerti mengapa dia menyeretnya ke kantor dan bersikeras agar sehwa secara pribadi memeriksa isi dan menandatanganinya.
Sehwa mencoba meletakkan jari telunjuknya di layar tablet, tetapi malah mengepalkan tangannya.
Ia ingin bertanya satu hal..
Kenapa Ki Tae-jeong ingin mencantumkan namanya di catatan Sehwa sebagai wali' seperti ini?
Sejak kapan dia mulai peduli pada dan berusaha menjaga Sehwa seperti ini, entah Sehwa sedang mual di pagi hari atau merasa lesu?
Dia dengan santai menyebut hal-hal yang tidak diinginkan Sehwa, jadi mengapa dia tidak membiarkan Sehwa salah paham sekarang?
kenapa?
