"Yaudah yuk, girls, kita berangkat," ucap Putri dengan semangat, melirik ke arah kami sambil tersenyum lebar. Mereka semua tampak siap dan antusias untuk keluar malam itu, sementara aku hanya bisa menghela napas pelan, berusaha menenangkan diri meski tahu tidak ada yang bisa membuat situasi ini lebih baik.
Namun, sebelum kami keluar dari kos Dea, dia tiba-tiba berhenti sejenak, seperti teringat sesuatu. Wajahnya berubah serius, dan dia memasang ekspresi berpikir. "Eh, tunggu dulu, girls," katanya, suaranya terdengar penuh rencana.
Putri dan Intan langsung menoleh, penasaran. "Ada apa, Dea?" tanya Putri, matanya berbinar seakan menunggu instruksi berikutnya.
Dea berjalan kembali ke lemari kecil di sudut kamarnya, membuka laci, dan mengeluarkan sebuah benda kecil logam berbentuk seperti telur. Aku memandang benda itu dengan bingung, tidak tahu apa benda itu dan apa yang akan dia lakukan. Sementara itu, Putri dan Intan langsung tertawa, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hahaha, kamu mau masukin itu ke Citra, ya, Dea?" ucap Putri sambil menahan tawa, suaranya penuh dengan rasa senang dan keheranan.
Aku semakin bingung. "Masukin ke aku? Maksudnya apa, Mbak?" tanyaku, rasa takut mulai merayap naik dalam diriku. Aku tidak mengerti, tapi tatapan mereka yang penuh ejekan membuatku semakin khawatir.
Dea tersenyum licik sambil mengangguk. "Iya dong, Put. Biar 'Citra' makin patuh dan nggak macem-macem. Sama biar makin seru juga."
Intan tertawa lebih keras. "Wah, gila kamu, Dea! Tapi, kayaknya bakal seru banget sih. Citra, kamu nggak usah takut, ini cuma buat seru-seruan aja, kok," ucapnya sambil menepuk pundakku dengan tawa yang masih menggema.
Aku merasa semakin panik. "Kalian mau lakuin apa lagi, Mbak?" tanyaku dengan suara gemetar, tetapi mereka hanya tertawa dan tidak menghiraukan rasa takut yang jelas terlihat di wajahku. Dea mendekat dengan senyum licik di wajahnya, memegang benda itu di tangannya dengan tatapan penuh rencana. Aku bisa merasakan perutku mengencang, dan jantungku berdebar semakin kencang. Semua ini terasa semakin mengerikan, dan aku tahu bahwa apa pun yang akan mereka lakukan tidak akan berakhir baik untukku.
Dea kemudian menyuruhku dengan nada tegas, "Turunin celana jeans kamu, Cit. Sekarang!"
Aku menatapnya dengan mata terbelalak, bingung dan ketakutan. "Mbak... tolong, jangan..." ucapku, mencoba untuk melawan.
Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merantau
De TodoDi tengah ketidakpastian masa depan, Cipto, pemuda desa yang baru lulus SMA, terpaksa merantau ke kota besar untuk mencari pekerjaan demi membantu keluarganya. Setibanya di kota, ia dihadapkan pada realitas keras dan kebiasaan masyarakat perkotaan y...