Brak!
Suara pintu mobil ditutup membuat aku terjingkat kaget setelah seorang pria paruh baya berhasil memasukkan beberapa paper bag di kursi tengah, Pak Danang namanya. Ia berjalan berputar melewati depan mobil lalu masuk ke pintu sebelah kanan. Ketika pintu mobil di tutup dengan sangat kuat seolah tengah kesal akan sesuatu hal tetapi aku sangat yakin Pak Danang hanya melakukannya tanpa sadar hanya saja aku sedikit terkejut dan kesal saja akan bunyinya.
Aku yakin semua orang yang punya mobil akan kesal sekali jika orang lain menutup pintu sampai sekeras itu. Suara pintu mobil yang ditutup itu mampu membuat adrenalinku meningkat tekanan emosional, barangkali karakter yang aku miliki ibarat sumbu yang pendek; alias mudah tersulut emosi, terutama soal suara. Benar, mudah tersulut emosi dengan hal-hal yang menganggu pikiranku baik itu suara kecil nan berbisik sekalipun. Aku akan emosi dan mengumpat, kesal. Karena sekali lagi itu menganggu pikiranku.
"Langsung pulang, Mbak?" tanya Pak Danang lirih sambil menyalakan mesin mobil lalu melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
"Langsung pulang saja?" Aku ragu-ragu karena biasanya sepulang sekolah aku selalu minta Pak Danang mengantar aku ke tempat Papa bekerja sambil jalan-jalan mengintari Mall yang ada di sebelahnya atau ke perusahaan di tempat Mama bekerja.
"Bapak ada usul, mau kemana?"
"Kalau bermain memang Mama, Mbak Hanna tidak mencari nanti?"
"Kan, ijin dulu."
"Terserah Mbak Hanna saja mau kemana, nanti Bapak antar kemana mba Hanna mau pergi." Jawab Pak Danang
"Oh iya, aku mau jenguk teman aku, Pak."
"Baik, Mbak."
Mobil semakin melaju membawaku ke rumah Jihan, sudah hampir 4 hari ia tidak masuk ke sekolah karena sakit. Jihan adalah satu-satunya teman perempuan yang dekat dengaku saat ini; ya, hanya Jihan yang bisa aku ajak berbagi dalam berbagai hal di sekolah walau aku punya populitas yang lumayan tinggi di sekolah. Populer. Cantik dan bersinar kata mereka selain itu aku adalah ketua OSIS.
Jihan adalah tipe yang pas untuk aku yang moodian, dari beberapa teman yang ada hanya ia yang mau dekat dan selalu menganggu; tidak cerewet sekali tetapi juga tidak diam sekali. Periang dan wajahnya selalu menampilkan aura positif dan yang paling penting Jihan selalu pandai mencairkan suasana dalam segala situasi.
"Kita sampai, Pak. Aku masuk dulu."
Pak Danang mengangguk sementara aku meraih pastel buah yang ada di kursi belakang yang aku beli di toko buah fresh yang juga langganan Mama.
"Kemungikanan agak lama, Bapak mau ngopi atau makan dulu, di dalam?"
"Tidak usah, mbak. Tadi saya sudah makan dan ngopi di warung depan sekolah Mbak Hanna."
"Baiklah."
Aku berjalan mendekati pintu masuk sementara Pak Danang mematikan mesin mobilnya kemudian turun dari mobil untuk berbaur dengan Pak Santo satpam rumah Jihan, aku tersenyum melihat ke duanya yang menjadi akrab juga, terdengar mereka saling melempar salam dan kabar lalu mengobrol seperti biasa, obrolan para Bapak-bapak di siang hari.
Tok
Tok!
"Eh...Hanna rupanya! Semakin cantik saja." Suara Mama Jihan yang lembut sambil tersenyum mengusap pucuk kepalaku lalu menarik tubuhku untuk masuk ke dalam.
"Terimakasih Tante." ucapku tersenyum
"Jihan ada di atas, sebenarnya sudah sembuh tapi Tante masih belum ijinkan Jihan masuk sekolah dulu, takut tiba-tiba kambuh lagi."