Bab 16. Kita menikah saja, bagaimana?

1 1 0
                                    



Tengah malam aku terbangun dan lapar dengan mata yang masih terpejam, sejujurnya antara jiwa yang malas tetapi lapar, mengantuk tetapi perut lapar. Aku keluar kamar namun melihat kondisi di luar ruangan gelap gulita, aku kembali masuk menutup pintu kamarku lalu menghidupkan lampu kamar mencari ponsel. Dengan sorot cahaya dari ponsel aku menuruni tangga dengan perlahan mencari saklar lampu, ah sudah tinggal beberapa minggu di sini tetapi aku masih saja tidak bisa menghafal dimana saja letak saklar lampu ruangan dan pilihanku jatuh pada saklar lampu yang paling besar.

Tak! Aku berhasil menyalakan lampu penghias di atas tangga lalu menyalakan lampu dapur dan membiarkan ruangan lain tetap gelap. Aku berjalan dengan sempoyongan mendekati lemari dan mulai mencari-cari sesuatu yang aku butuhkan, mie instan.

"Dimana aku meletakkannya? Bukannya kemarin ada di lemari ini ya?" gumamku masih terus mencari-cari semua laci dan lemari terbuka lebar dan semuanya itu tidak ada satupun barang yang aku mau. Merasa jengah dan frustasi karena rasa lapar aku mengacak-acak rambut panjangku.

"Apa yang kamu lakukan di dapur, jam segini?" suara Ed. Ah, manusia itu bisa kapan saja muncul, sepertinya. Sebenarnya aku sedikit terkejut dengan suara seraknya khas bangun tidur itu, alih-alih terkejut aku justru kesal sekali tidak menemukan sesuatu yang aku mau terlebih suaranya jelas mengagetkanku ingin sekali melempar panci yang ada di depanku sekarang ke arahnya, rupanya rasa lapar bisa mengubah manusia menjadi marah.

"Apa kamu yang menyembunyikan semua bungkus mie instanku?" tanyaku mataku memicing ke arah Ed yang sedang meneguk minumannya yang ia ambil dari dalam kulkas. Menyaksikan itu aku menelan ludahku sendiri terlebih jakun laki-laki itu terlihat bergerak menciptakan itensitas di dalam dirinya yang semakin terlihat mempesona dan berbiwaba.

"Oh, itu. Aku memberikan semuanya ke Pak Budi kemarin___" jawabnya tanpa merasa bersalah sedikitpun sementara aku yang mendengarnya kesal sekali. Bagaimana mungkin laki-laki itu asal memberikannya pada orang lain sedangkan itu barang milikku bukan miliknya.

"Kenapa kamu memberikan semuanya!" teriakku kesal

"Kamu lapar?"

"Tidak!"

"Lalu kenapa kamu marah." Suaranya begitu santai sekali. "Aku punya sesuatu yang lebih sehat daripada mie instan, di kulkas." Ed kembali membuka kulkasnya dan mengeluarkan satu bungkus roti tawar. Melihat itu aku memicingkan kedua mataku semakin kesal saja bahkan wajah Ed sekarang lebih dua kali lipat menyebalkan. Aku tidak ingin makan roti tawar.

"Aku memberikannya pada Pak Budi untuk ia jual kembali..." mata yang tadinya berat karena mengatuk kini terbuka lebar What the hell

"Aku tidak suka orang-orang terdekatku menyetok makanan instan sebanyak itu. Kamu tahu kan, itu sama sekali tidak baik untuk di konsumsi oleh lambung!" ocehnya karena ia seorang dokter sudah pasti laki-laki itu menyarankan makanan lainnya untuk di konsumsi oleh lambung. Ah, aku samasekali tidak terpikirkan ke arah sana menyesal juga mengapa aku menyimpan makanan instan itu di lemari dapur seharusnya aku simpan saja di lemari kamarku.

"Ada telur dan sayuran hijau di kulkas, aku akan membuatkan sandwich untukmu. Tunggu di situ!" serunya lalu mulai bergerak mengambil telur di kulkas serta menyalakan kompornya dan terakhir ia mulai membuka bungkus roti, mengeluarkan beberapa lembar. Dua piring? Apa artinya ia juga lapar? Cih! Aku mencibir. Biar sajalah ia melakukannya toh ia harus bertanggung jawab karena sudah melenyapkan para mie instanku di lemari yang beberapa hari lalu aku beli. Dengan enaknya ia justru menyingkirkan semuanya tanpa menyisakan satu saja.

Aku hanya duduk menunggu sambil setengah tidur bahkan saat ini kepalaku posisinya berada di meja makan. Kalau saja ada mie instan sudah sejak tadi aku memasaknya, memakannya lalu kembali tidur lagi melanjutkan mimpiku. Aku masih tidak setuju laki-laki itu melakukannya toh aku tidak akan memasaknya setiap hari hanya sesekali saja jika aku menginginkannya, tidak bisakah ia mengerti? Tinggal di sini seperti jauh dari peradaban sate padang saja tidak ada apalagi ojek online, dimana aplikasinya telah menyediakan berbagai menu makanan yang lezat menggoda selera. Dengan jarak yang cukup jauh rasanya tidak mungkin bisa memesannya.

Soon Be in Your ArmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang