Chapter 07

692 88 9
                                    

Jevannya merebahkan diri di tempat tidur, tetapi pikirannya tidak tenang. Wajah Rosalie dan kata-kata yang diucapkannya di akhir festival terus terngiang di kepala.

"Aku harap kamu tak akan pernah meninggalkanku."

Apa maksudnya? Rosalie tampak begitu tulus, namun bagi Jevannya, hal itu justru mengingatkannya pada kenyataan pahit: dirinya hanyalah orang asing dalam dunia ini. Dunia novel di mana ia menjadi sosok yang seharusnya tak ada.

Ia memandang kalung pelindung dari Ayah yang tergantung di lehernya. Batu kecil di tengahnya berkilau lembut dalam cahaya redup. Jevannya menghela napas panjang dan mencoba memejamkan mata.

Namun, saat ia akhirnya terlelap, mimpi aneh menghampiri nya.

Jevannya berdiri di padang rumput luas yang diterangi cahaya bulan. Bunga-bunga ungu yang bercahaya menari lembut di bawah tiupan angin malam. Tempat itu terasa asing namun menenangkan, hingga suara langkah berat mendekat dari belakangnya.

Ia berbalik dan melihat seorang pria berjubah hitam panjang dengan mata merah menyala. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, hanya menyisakan siluet tajam yang memancarkan aura mengintimidasi.

"Jevannya," panggil pria itu dengan suara dalam yang menggema di sekitarnya.

"Siapa kau?" tanya Jevannya, suaranya gemetar.

"Aku hanyalah utusan dari takdir. Kau tidak seharusnya ada di dunia ini," jawab pria itu dengan nada dingin.

Jevannya terdiam, hatinya mencelos mendengar kata-kata itu. "Apa maksudmu? Ini hanya mimpi, kan?"

Pria itu tertawa kecil, namun nadanya dipenuhi kepahitan. "Mimpi sering kali menjadi jendela bagi kebenaran. Kau adalah anomali, sebuah kesalahan yang tak seharusnya berada di sini. Keberadaanmu menghancurkan keseimbangan dunia ini."

"Aku tidak memilih berada di sini," balas Jevannya dengan suara bergetar.

"Pilihan ada di tanganmu sekarang. Kau bisa tetap di sini dan menghancurkan harmoni dunia, atau kembali ke tempat asalmu." Pria itu mendekat, menatapnya tajam. "Tapi ingat, waktu tidak akan menunggu. Keputusan harus diambil."

Sebelum Jevannya sempat menjawab, angin kencang berhembus, menerbangkan bunga-bunga ungu di sekitarnya. Dunia di sekelilingnya memudar menjadi gelap.

°°°

Jevannya terbangun dengan napas terengah-engah. Kamar tidurnya yang hangat terasa seperti tempat asing setelah mimpi itu. Ia memegang dadanya, mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdebar keras.

Dia menatap cermin di meja rias,
"Apa maksud mimpi itu?" gumamnya pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja ia alami. Kata-kata pria itu masih terngiang jelas di pikirannya.

Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. "Jevannya, kau sudah bangun?" panggil Vivienne dari luar.

"tentu ibu" ia bangkit perlahan, dan mulai bersiap untuk pergi ke sekolah.

°°°

Sekolah tampak seperti biasanya dengan suara tawa siswa, hiruk-pikuk kelas, dan suasana ceria. Namun, bagi Jevannya, semuanya terasa berbeda. Bayangan mimpi semalam terus menghantuinya.

Saat istirahat, Jevannya mencoba mencari ketenangan di taman belakang sekolah. Ia duduk di bangku di bawah pohon rindang, menikmati semilir angin yang menyapu rambutnya.

Namun, kedamaian itu hanya bertahan sebentar.

"Kau sendirian lagi" suara Nathaniel terdengar dari belakang. Ia berjalan mendekat dengan langkah tenang, dan memegang sebuah buku tebal di tangannya.

Jevannya tersenyum kecil. "Aku hanya butuh waktu sendiri."

Nathaniel duduk di bangku di sebelahnya, menatap langit biru di atas. "Aku mengerti. Terkadang dunia ini terasa terlalu ramai, bukan?"

Jevannya terdiam. Ada sesuatu dalam cara Nathaniel berbicara yang terasa seolah ia memahami apa yang dirasakannya. Sebelum ia sempat menjawab, Axel muncul dari arah lain dengan membawa dua kaleng minuman.

"Nathaniel, kau mencoba mencuri waktu bersamanya lagi?" Axel menggoda sambil menyerahkan salah satu minuman kepada Jevannya.

"oh terima kasih, Axel" Jevannya menerima minuman itu dengan senang hati.

Nathaniel hanya mengacuhkannya, seolah ia tidak terganggu oleh godaan Axel.

Namun, suasana mulai terasa tegang ketika Lucian tiba, seperti biasa dengan ekspresi datarnya. "Kau disini rupanya"ujarnya dingin sambil melirik ke arah Jevannya.

"Jevannya, Rosalie mencarimu. Dia ada di aula" Lucian.

"Oh, baiklah. Aku akan ke sana," jawab Jevannya cepat, merasa lega bisa menghindar dari ketiga pria itu.

°°°

Dalam perjalanan ke aula, Jevannya merasakan sesuatu yang aneh. Ada perasaan tak nyaman, seolah ia sedang diawasi. Ia berhenti dan menoleh, tetapi lorong itu kosong.

Namun, firasatnya mengatakan ada sesuatu atau seseorang yang mengawasinya.

Ketika ia tiba di aula, Rosalie langsung menyambutnya dengan wajah ceria. "Jevannya! Aku mencarimu. Ada latihan untuk acara sekolah minggu depan. Kau mau ikut membantu?"

Jevannya mengangguk, mencoba mengalihkan pikirannya dari firasat aneh itu. Namun, saat ia melihat sekilas ke jendela aula, ia yakin melihat sosok berjubah hitam berdiri di kejauhan.

Ketika ia berkedip, sosok itu lenyap.

"Apa ini hanya imajinasiku?" pikirnya.

°°°

Di tempat lain, bayang-bayang malam bergerak, dan sosok dengan mata merah menyala itu memandangi Jevannya dari kejauhan.

"Keputusannya akan menentukan segalanya."

•••

I became the best friend of the female main character Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang