[SADNESS SECRET]
.
"Kalau kamu mau, aku bisa jadi koki kamu selamanya." Tatapan mata yang begitu dalam dari Kenan, sudah menjadi hal biasa yang Kanaya lihat.
Kanaya tertawa kecil, seperti sedang meledek ucapan Kenan. "Kalau aku sering-sering minta di masakin, awas aja kalau nolak," ucap Kanaya.
"Coba aja. Aku tunggu."
Tak begitu banyak yang Kanaya dan Kenan lakukan. Karena hari sudah semakin larut, maka Kanaya berpamitan untuk pulang.
Setibanya di rumah, Kanaya berpapasan dengan Olivia di dapur. Ketika di sapa, Olivia hanya melirik Kanaya sekilas. Tak ada satu katapun yang Olivia lontarkan. Tetapi ketika Kanaya hendak pergi, Olivia malah baru berkata, "papah pulang malam. Kamu tungguin sampai dia pulang, siapin makannya."
"Iya mah. Kanaya ganti baju dulu."
Olivia hanya bicara seperlunya saja. Kanaya sudah mulai terbiasa dengan banyak perubahaan di sekitarnya. Mulai dari sikap yang dingin, percakapan yang singkat, senyum yang hilang, hingga kehangatan yang berubah menjadi kecanggungan.
Langkah Kanaya di rumah itu menjadi saksi bahwa ia kini lebih sering berada di kamar. Padahal dulu Kanaya lebih sering belajar di ruang tengah agar bisa bercengkrama dengan Olivia ataupun Aksa. Tapi kini, hal itu sudah tak ada lagi.
Kanaya yang sedang berjalan menuju kamarnya tentu saja akan melirik ke dalam kamar Olivia yang terbuka lebar dan suara tangis yang begitu keras. Terlihat ada Aurora yang sedang menangis di atas ranjang bayinya. Tetapi yang membuat Kanaya kaget adalah, Olivia lupa menaikan pembatas ranjang. Sehingga Aurora yang menggeliat sampai pada batas ranjang.
"Aurora!" Kanaya berlari masuk ke dalam sana.
Bersamaan dengan itu, Olivia tiba di ruangan. Ia melihat Kanaya yang sedang mengangkat Aurora yang tergeletak di lantai dengan tangis yang tak terbendung.
"KAMU APAIN AURORA!" teriak Olivia. Ia langsung mengambil Aurora dari dekapan tangan Kanaya.
"Mah... aku...," suara Kanaya terdengar gugup.
Olivia berusaha menenangkan Aurora yang terus menangis. Wajahnya tampak begitu panik. Terlihat jelas raut kekhawatiran disana. Bagaimana tidak, putri tersayangnya yang masih balita terluka. Tentu membuat kepanikan yang besar.
Disana, Kanaya hanya bisa terdiam membeku. Permintaan maaf atas kejadian itu, walau bukan dia penyebabnya terus Kanaya lakukan. Walau Olivia terus mengabaikannya karena tengah fokus pada Aurora.
"Mah, Kanaya ga lakuin apa-apa..." ucap Kanaya dengan suara gemetar. Karena Olivia melototinya beberapa kali.
"Pergi dari sini! Dasar anak ga tau diri. PERGI!" hardik Olivia.
Kanaya melangkah pelan menuju pintu.
"Aku nyesel bawa kamu ke rumah ini, kalau aja Aurora hadir lebih cepat, aku ga akan mau adopsi anak yang ga jelas asal usulnya kayak kamu."
Kanaya tetap melangkah sambil mendengar ucapan Olivia. Kata-kata yang menusuknya bagaikan pedang tajam hingga menembus jantungnya.
Dengan perasaan sedih, Kanaya lalu pergi dari ruangan itu. Ia kembali ke kamarnya dengan air mata yang membasahi pipi. Dadanya terasa sesak, seperti tertindih batu tumpul.
Di kamar yang gelap, Kanaya duduk di lantai yang dingin, bersandar pada dinding yang mendengar tiap tangis dan melihat tiap tetes air mata. Kesedihan yang mendalam bahkan membuat tangis Kanaya menjadi tak bersuara. Ia tenggelam dalam lautan kesedihan yang membuatnya tak bisa bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Kasih Di Balik Pintu
Teen FictionMah... Pah... Aku cuma mau kasih sayang kalian.... . Bagi seorang anak yang tumbuh dengan penuh cinta dan kasih sayang dari kedua orangtuanya, tidak mengetahui kekosongan hati seorang anak yang tidak mendapatkan hal itu. Begitupula aku, Aurora Adell...