1 | Kim Eunhye & Park Mingyu

3 1 0
                                    


Angin musim gugur yang sejuk menyapu jalanan Seoul, menggugurkan dedaunan kuning keemasan yang melayang lembut di udara. Di tengah hiruk pikuk kota, Kim Eunhye melangkah dengan tenang menuju toko kue favoritnya, Golden Crust Patisserie. Rambut hitam panjangnya terkibas angin, memberikan kesan dramatis yang membuat setiap orang yang melihatnya seolah lupa bernafas. Wajahnya menawan, bak lukisan hidup yang tak tersentuh waktu, tetapi ada aura dingin yang mengelilinginya—seperti tembok tak kasat mata yang menjaga jarak dengan dunia di sekitarnya.

Begitu pintu kaca toko terbuka, lonceng kecil di atasnya berbunyi lembut, mengumumkan kehadirannya. Aroma manis cheesecake dan kue-kue lainnya segera menyambutnya, menawarkan kehangatan yang kontras dengan dinginnya udara di luar. Tanpa membuang waktu, Eunhye melangkah ke konter, matanya fokus pada daftar menu yang sebenarnya sudah ia hapal di luar kepala.

"Classic cheesecake dan matcha latte," ucapnya singkat, suaranya datar namun tetap terdengar lembut.
Biasanya, ia hanya akan melihat wajah ramah ibu pemilik toko yang sudah ia kenal selama bertahun-tahun.

Namun kali ini, seseorang yang berbeda berdiri di balik konter—seorang pria muda dengan senyum hangat yang tampaknya mampu mencairkan es di hari paling dingin sekalipun.

“Classic cheesecake dan matcha latte? Pilihan yang sempurna di hari seperti ini,” kata pria itu dengan suara ceria. Dia adalah Park Mingyu, pria dengan tubuh tinggi dan rambut cokelat gelap yang sedikit berantakan, seolah-olah ia baru saja keluar dari dapur.

Matanya bersinar penuh semangat, dan ada sesuatu dalam caranya berbicara yang terasa begitu hidup, kontras dengan sikap dingin Eunhye.
Eunhye mengernyitkan alis, bingung dengan perubahan ini. “Dimana pemilik toko yang biasa?” tanyanya, nada suaranya menunjukkan sedikit rasa penasaran meski tetap menjaga jarak.

“Ibuku sedang istirahat. Beliau menyerahkan toko ini kepada saya untuk sementara,” jawab Mingyu dengan ramah, tidak terganggu oleh ekspresi dingin Eunhye. Ia segera berbalik dan mulai menyiapkan pesanan dengan gesit. “Anda pelanggan tetap, ya? Saya sering mendengar cerita tentang Anda.”
Eunhye terdiam dan hanya tersenyum tipis.

Ia tidak terbiasa dengan keramahan seperti ini, terutama dari seseorang yang baru pertama kali ia temui. Ia memilih untuk tidak menanggapi dan mengalihkan perhatian ke luar jendela, tempat daun-daun berguguran dengan anggun.

Mingyu menatap senyuman tipis eunhye yang menyiratkan kehangatan,dan membuatnya semakin tertarik pada eunhye di pertemuan pertama.

Tak lama kemudian, Mingyu kembali dengan nampan berisi sepiring cheesecake yang tampak lembut dan secangkir matcha latte yang mengepul hangat. “Ini pesanan Anda,” katanya sambil meletakkan semuanya di meja favorit Eunhye dekat jendela. “Semoga Anda menikmatinya.”

“Terima kasih,” jawab Eunhye singkat sebelum menundukkan kepala dan mulai menikmati makanannya.

Namun, Mingyu tidak segera pergi. Ia memperhatikan wanita di depannya dengan rasa penasaran yang sulit dijelaskan seperti rasa kagum yang tidak dapat ia deskripsikan secara lanjut.

Ada sesuatu yang menarik tentang Kim Eunhye keanggunan dinginnya, cara dia menikmati cheesecake dengan perlahan, seolah-olah momen itu adalah ritual sakral.
Hari itu, pertemuan pertama mereka menjadi awal dari cerita yang tak pernah mereka bayangkan. Dua dunia yang berbeda telah bersinggungan di bawah atap toko kecil itu, dengan cheesecake sebagai jembatan pertama di antara mereka.

Park Mingyu selalu dikenal sebagai pria yang memancarkan kehangatan seperti matahari pagi. Senyum ramahnya dan cara dia berbicara membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Namun di balik sikap cerianya, tersimpan luka yang dalam—luka yang ia sembunyikan dari dunia.

Beberapa tahun sebelumnya, Mingyu adalah karyawan yang menjanjikan di sebuah perusahaan besar di Seoul. Dengan latar belakang pendidikan yang cemerlang dan semangat kerja yang tinggi, ia dianggap sebagai bintang yang tengah bersinar di divisinya.

Rekan-rekannya mengaguminya, atasannya mempercayainya, dan masa depan tampaknya terbentang cerah di depan mata.
Namun, hidup jarang berjalan sesuai rencana.

Mingyu tersandung dalam proyek besar yang menjadi titik balik kariernya. Sebuah kesalahan kecil—yang sebenarnya bukan sepenuhnya tanggung jawabnya—menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan. Dalam dunia korporat yang keras, kesalahan tersebut cukup untuk menjadikannya kambing hitam. Reputasinya hancur dalam sekejap, dan ia akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri sebelum tekanan menjadi tak tertahankan.

Sebagai pria optimis, Mingyu mencoba melihat sisi baiknya. Ia berpikir bahwa ini adalah kesempatan untuk memulai dari awal.

Namun, pukulan berikutnya datang lebih cepat dari yang ia duga. Kekasihnya, a-yeong, yang telah ia pacari selama empat tahun, tiba-tiba berubah dingin setelah kejadian tersebut. Pada awalnya, Mingyu berusaha memahami—ia pikir mungkin a-yeong butuh waktu untuk menerima kenyataan bahwa hidup mereka tidak lagi semewah sebelumnya.

Namun, kenyataan yang ia temukan jauh lebih menyakitkan. Beberapa bulan setelah ia kehilangan pekerjaannya, a-yeong meninggalkannya. Tidak hanya itu, ia mengetahui bahwa A-yeong telah menjalin hubungan dengan pria lain selama beberapa waktu. Pria itu adalah seorang pengusaha kaya yang dengan mudah menawarkan kehidupan yang jauh lebih stabil daripada yang bisa Mingyu berikan saat itu.

Kabar pernikahan a-yeong menghancurkan hati Mingyu. Ia merasa marah, kecewa, dan kehilangan kepercayaan pada cinta. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, senyumnya yang hangat terasa seperti topeng—hanya upaya untuk menyembunyikan luka yang ia rasakan di dalam.

Setelah melewati hari-hari penuh keterpurukan, Mingyu memutuskan untuk kembali ke akarnya. Ibunya, yang sudah semakin tua dan sering sakit, memintanya untuk mengambil alih toko kue keluarga mereka. Awalnya, Mingyu ragu. Ia merasa bahwa kembali ke toko kue berarti mengakui kegagalannya, tetapi ibunya dengan bijak meyakinkannya bahwa tidak ada yang salah dengan memulai lagi dari awal.

“Toko ini adalah rumah kita, Mingyu,” kata ibunya suatu malam sambil menatap foto mendiang ayahnya di dinding toko. “Di sini, kamu tidak perlu membuktikan apa-apa. Cukup menjadi dirimu sendiri, seperti dulu ketika kamu membantu ayahmu membuat roti di dapur.”

Akhirnya, Mingyu setuju. Dengan hati yang masih rapuh, ia mulai bekerja di toko kue keluarga mereka. Ia menemukan bahwa membuat kue, terutama cheesecake yang menjadi andalan toko mereka, adalah cara yang menenangkan untuk menyembuhkan hatinya. Hari demi hari, ia mencoba melupakan luka lamanya dan fokus pada pelanggan yang datang, berharap senyum dan kue buatannya dapat memberikan kebahagiaan kecil bagi mereka.
Namun, di suatu sore yang cerah,
kehadiran seorang wanita di toko itu mengguncang keseimbangan baru yang berhasil ia bangun.

Wanita itu adalah Kim Eunhye—dengan wajah dingin namun penuh teka-teki, membawa kehadiran yang entah bagaimana menarik perhatian Mingyu sejak pertemuan pertama mereka.

Meski ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Mingyu merasakan bahwa pertemuannya dengan Eunhye akan menjadi awal dari cerita baru dalam hidupnya.

The sweet taste of love : A Cheesecake Love story in seoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang