; fated - his true identity

72 9 0
                                    

"Sebaiknya kita berhenti melakukan ini."

Jimin tengah mengenakan kembali pakaiannya yang sempat tercecer di lantai. Mengacuhkan tatapan Jeongguk yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang dengan sebuah selimut menutupi bagian bawah tubuhnya.

"Hm? Kenapa begitu?"

Sahutan Jeongguk tenang dengan sebatang rokok terselip di bibirnya kemudian. Ia lantas menyalakan pemantik api, dan asap mengepul keluar dari bilah bibirnya.

"Karena aku tak ingin meneruskannya."

"Itu hanya kalimat dalam artian yang sama. Bukan sebuah alasan." Jeongguk terkekeh kecil.

"Cukup sampai di sini." Jimin mengambil ponsel di atas meja samping ranjang. Ibu jarinya bergerak mengetikkan sesuatu di sana. Sama sekali tak menghadap lawan bicaranya.

"Aku suka candaanmu barusan." Tawa Jeongguk terdengar  lebih keras kali ini. Ia menghisap batang nikotinnya keras-keras dan mengeluarkan asapnya banyak-banyak sebelum meletakkannya pada asbak di atas nakas. "Kita sudah lama menjadi partner dalam segala hal, Julian. Kau tahu itu."

"Tapi tidak dengan yang ini. Aku ingin berhenti melakukan hal satu ini."

Jimin melirik Jeongguk yang kini duduk di tepi ranjang, tepat di sampingnya.

"Sejak kapan kau mempermasalahkan hal ini, hm? Julian yang selama ini kukenal tak pernah memusingkan hal-hal kecil seperti ini." Kekeh Jeongguk lagi, benar-benar tak menganggap serius ucapan Jimin. "Apa perubahanmu ini berhubungan dengan laki-laki itu? Wow, aku terkejut sekali. Sehebat itukah dia?"

Lengan Jeongguk terulur untuk meraih Jimin. Membawa tubuh lelaki berperawakan kecil itu untuk duduk di atas pangkuannya. Tubuhnya yang polos dan jauh dari selimut seketika menghangat kembali. Hidungnya lantas mengendus belakang leher Jimin secara otomatis. Membenamkan kecupan-kecupan kecil di sana. Bagian itu merupakan favoritnya di kala keduanya berposisi seperti ini.

Jimin tak bergerak sama sekali. Ia masih sibuk membalas pesan seseorang yang lebih penting baginya daripada meladeni Jeongguk yang selalu clingy terhadapnya di saat-saat berduaan semacam ini.

"Seperti inikah wujud es kutub yang tengah mencair? Ah, sayang sekali aku tak pernah berkesempatan menjadikan diriku sang mentari untuknya."

Jimin meredupkan pandangan setelah ponselnya ia masukkan ke dalam saku jaket. Menatap lantai kamar apartemen Jeongguk dengan bayang wajah Yoongi yang menghias pikirannya.

"Aku harus pergi."

Kaitan kedua lengan Jeongguk otomatis mengerat mendengarnya. Namun Jimin tak berusaha memisahkan diri. Ia hanya duduk di sana. Menunggu sampai Jeongguk berucap lagi.

"Aku mencintaimu, Park Jimin."

Secuil nyeri berdenyut di hati Jimin saat Jeongguk membisikkan kalimat itu.

"Aku tak pernah melarangmu memiliki orang lain selain diriku. Beberapa kali kau melakukannya, dan aku tidak pernah mempermasalahkannya. Akan tetapi, untuk permintaanmu yang satu ini, aku tidak bisa menyetujuinya. Physical touch is my love language. Inilah caraku menunjukkan perasaan cintaku padamu, Jimin."

"Maaf, Jeongguk. Aku harus segera pergi."

Seusai berucap demikian, pelukan Jeongguk melonggar. Tatapannya terpaku pada punggung Jimin yang kini berjalan meninggalkan ruangan itu tanpa berucap sepatah kata lagi.

×××

Setelah saling mengungkapkan perasaan masing-masing di hari itu, Yoongi dan Julian kini resmi menjadi sepasang kekasih. Lebih tepatnya, Yoongi-lah yang meminta ijin untuk menjadikan Julian kekasihnya.

BULLET IN YOUR HEAD [M]  •  YOONMIN ONESHOOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang