Head 7

208 59 12
                                    

"Hmm, iya. Sorry gue gak ikut lagi ya,"

Dirga menutup percakapan itu dan meletakkan ponselnya di pangkuannya. Beberapa kali ia melakukan peregangan pada jarinya yang mulai menekuk karena penyakitnya. Setelahnya, ia kembali menyandarkan tubuh di kursi roda dan memandangi Garam dan Gula yang sedang berenang di aquarium mereka yang kecil. Kedua ikan itu tanpa tenang sekali, berenang berputar seperti tanpa beban.

Jika ada yang bertanya pada Dirga apa yang ia inginkan sekarang, Dirga akan menjawab ia berharap Garam dan Gula dapat berbicara. Setidaknya jika kedua ikan peliharaanya itu dapat menemaninya mengobrol, ia tidak akan terlalu kesepian. Ia juga tidak perlu takut mereka akan pergi meninggalkannya atau mengusirnya, seperti orang di sekitarnya.

Lucu rasanya kalau dipikir pikir, yang sakit siapa, yang takut ditinggalkan siapa. Tidak pernah Dirga membayangkan orang yang akan ia tinggalkan nanti akan sedih atau kehilangan, mungkin abangnya akan sedikit kehilangan, karena semuanya akan menjadi lebih baik jika dia sudah tidak ada. Justru dirinya yang saat ini ketakukan bahwa semua orang akan pergi, belakangan ini ia bahkan bermimpi ditinggalkan seorang diri di kamar tua dan terbangun dalam kondisi hati yang terasa hampa.

Setelah percakapan dengan Ayah Sekar beberapa hari yang lalu, Dirga perlahan menarik diri dari pertemanannya. Ia tetap bertingkah laku seperti biasa dengan mereka di sekolah. Mengobrol, bercanda,  seakan semua yang terjadi baik - baik saja. Bedanya kini ia tidak pernah menerima ajakan berjalan jalan atau pulang bersama dengan mereka. Ia akan menggunakan berbagai alasan untuk menghindar.

"Maaf, lagi nggak enak badan." 
"Kayaknya besok aja, deh." 
"Lagi ada urusan sama abang." 

Semua alasan itu masuk akal, jadi mereka tidak bertanya dan mencari tahu lebih lanjut. Meski dalam hati kecilnya, Dirga berharap kedua temannya itu memaksa, tiba tiba menjemputnya, atau mendatanginya di apartemen tanpa pemberitahuan, dan menghabiskan waktu bersamanya. Tapi ia sadar temannya itu bukan cenayang, mereka tidak akan tahu isi hatinya tanpa ia beritahu. Tapi bukankah ini yang ia inginkan? Semakin Sedikit orang yang ia repotkan akan jadi lebih baik.

"Kok gak ikut Sekar sama Yudha, Dek? Tadi abang jumpa mereka di lift, katanya kamu gak mau ikut pergi bareng mereka,"

Dirga memutar kursi rodanya ke arah pintu, ia melihat abangnya yang masih mengenakan kemeja kerja. Sebuah tas tersampir di bahunya dan tangannya memegang sekantong plastik yang sepertinya berisi satu kotak makanan. 

"Lagi nggak mood aja," jawab Dirga sambil menggerakkan kursi rodanya ke arah meja makan, tempat Jovan menata barang bawaannya tadi. 

Jovan memandang adiknya dengan tatapan penuh selidik. Ia merasa Dirga menyembunyikan sesuatu, "Kalian beramtem?"

"Nggak, aman aja kok. Orang tua gak usah urusi urusan anak muda,"

Jovan mengusak rambut adiknya gemas. Baguslah jika memang tidak ada apa apa. Mungkin adiknya memang hanya sedang malas dan belum terbiasa dengan kondisinya yang sekarang.

Tapi saat tangannya menyentuh kening Dirga, ia merasakan hawa hangat. Suhunya tidak terlalu tinggi, tapi adiknya memang terlalu sering mendapat demam ringan seperti ini. Tertutama jika sedang banyak pikiran.

"Mau mandi air anget gak biar enak badannya?" tawar Jovan yang sedang meraba leher adiknya untuk memastikan suhu tubuhnya.

"Gak usah bang, boleh bantu ke tempat tidur aja? Mau baring," pinta Dirga sambil memejamkan matanya. Ia menikmati sentuhan tangan abangnya yang ntah kenapa terasa menyejukkan di kulitnya yang panas.

Tanpa menunggu, Jovan langsung mendorong kursi roda Dirga ke kamar dan membantu adiknya berbaring dengan sedikit meninggikan bantalnya. Memastikan suhu AC dan menyelimutinya dengan selimut tipis. Tidak lupa ia membuka satu plester penurun panas dari dalam laci dan menempelkannya ke kening Dirga. Setelah memastikan adiknya merasa nyaman, ia kembali membereskan bawaannya yang sempat terbengkalai tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Two Sides of CoinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang