Head 4

572 77 17
                                    

Bruk!

"Dek!" seru Jovan panik sambil berlari ke arah adiknya yang sudah terduduk di lantai.

Suara kuat itu berasal dari kepala adiknya yang membentur tembok dan kedua lututnya yang menghantam lantai. Walker yang biasa digunakannya untuk berjalan sudah tergeletak di samping tubuhnya. Ini adalah kesekian kalinya di minggu ini Dirga terjatuh saat berjalan. Jovan tahu itu terjadi bukan tanpa alasan. Kondisi Dirga semakin memburuk, ia semakin kesulitan menggerakkan kakinya.

Jovan sudah berjongkok di samping adiknya saat ini. Ia mengubah posisi duduk Dirga agar bersandar ke dinding. Tidak lupa ia meluruskan kedua kaki adikya terlebih dahulu.

"Ada yang luka? Mana yang sakit? Pusing?" Ia tidak sadar suaranya bergetar seperti tangannya karena khawatir. Apalagi ia melihat dahi adiknya yang memerah dan noda merah yang menembus celana abu-abunya.

Begitu celana itu ia gulung, Jovan dapat melihat beberapa memar lama yang sudah mulai memudar. Bekas-bekas luka lama menghiasi area di sekitar tulang kering dan pergelangan kaki. Pada kedua sisi lutut terlihat luka gesek berwarna kemerahan yang masih basah.

"Shhh. Sakit bang, jangan dipegang," protes Dirga saat memar di keningnya disentuh. Matanya sudah berkaca - kaca menahan rasa perih.

"Sorry, sorry," Jovan langsung mengangkat tangannya.

"Pindah dulu ke sofa baru kita obati lukanya," ucap Jovan sambil mengambil posisi untuk menggendong adiknya. Tapi Dirga langsung menggeleng dan menepis tangan Jovan.

"Mau jalan..." ucapnya sambil menunduk, takut air matanya akan keluar kalau menatap abangnya. "Selagi bisa jalan,"

"Dek..." Suara Jovan melembut, ia mengucapkannya dengan nada memohon pada adiknya yang keras kepala ini.

"Bantuin aja Bang," Dirga mengangkat wajahnya perlahan, "Tolong ya..."

"Ok," jawab Jovan akhirnya. "Tapi abang pegangi aja, gak usah dipake walkernya,"

Dengan hati-hati, Jovan membantu Dirga berdiri. Tubuh Dirga sedikit gemetar ketika kakinya mulai menapak. Satu tangannya memegang dinding, sementara yang lain mencengkeram kuat lengan Jovan. Saat memulai langkah pertama, Dirga hanya bisa mengangkat kakinya sedikit sebelum telapak kakinya kembali menyeret di lantai. Setiap kali Dirga mencoba menggerakkan kakinya, otot-ototnya seolah menolak bekerja sama. Ia mencoba langkah kedua, tetapi lututnya langsung lemas, dan tubuhnya hampir terjatuh ke depan. Untungnya Jovan menahan tubuh adiknya agar tetap seimbang.

Setelah beberapa menit, mereka akhirnya tiba di sofa. Dirga langsung menjatuhkan tubuhnya, ia duduk dengan napas memburu. Wajahnya basah oleh keringat hanya kerena beberapa langkah saja.

Jovan langsung pergi sejenak untuk mengambil kotak P3K. Ketika kembali, ia mulai membersihkan luka di lutut Dirga dengan perlahan. "Sekolah nggak hari ini?" tanya Jovan sambil terus mengobati adiknya.

Dirga mengangguk cepat. "Kenapa nggak?"

"Gak liat kepalanya merah gitu? Bentar lagi benjol tuh kayak Garam sama Gula," ucap Jovan sambil melirik ke arah akuarium. "Istirahat aja lah di rumah. Nanti Abang izin kerja juga,"

Dirga hanya mendengus kesal, ia tidak terima disamakan dengan dua ikan mas koki kesayangannya, "Gak! Pokoknya tetap mau ke sekolah! Bosan di rumah Bang.... Mana Abang pake izin kerja segala,"

Jovan ragu juga sebenarnya jika ia meminta izin. Apalagi ia sedang harus giat mengejar bonus dari kantornya untuk segala kebutuhan pernikahannya. Lagipula Dirga sepertinya lebih baik bertemu teman - temannya daripada kepikiran dengan kondisinya di apartemen seorang diri.

Two Sides of CoinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang