Head 3

440 59 13
                                    

Jovan memapah Dirga menuju kamar mandi yang telah didisain khusus sesuai kebutuhan adiknya. Kamar mandi itu memiliki pegangan di sepanjang dinding dan lantai antiselip untuk mengurangi risiko jatuh. Di sudut kamar mandi juga terdapat kursi mandi dari plastik berwarna putih. Seluruh rak, gantungan, dan peralatan lainnya juga sengaja diletakkan tidak terlalu tinggi.

Dengan perlahan, Jovan membantu Dirga duduk di kursi mandi tersebut. Ia memastikan posisi adiknya sudah benar-benar nyaman lalu membantunya melepas piyamanya. Dirga menarik napas panjang, berusaha mengabaikan sensasi tidak nyaman yang terus datang dari kedua kakinya sejak pagi tadi. Otot-ototnya menegang karena spasme, kedua kakinya tampak terhentak pelan.

"Bentar. Spasme lagi Bang," gumam Dirga pelan sambil menggigit bibir untuk menahan rasa sakit. Sudah sering terjadi dan sudah terbiasa, tapi rasa sakitnya tetap sama.

Jovan memgelus lembut kepala adiknya, tidak ada kata yang rasanya bisa ia ucapkan. Ia sudah sering melihat Dirga mengalami kejang otot atau spasme secara tiba-tiba. Bahkan ia mulai hafal tanda-tanda yang muncul sebelum kejang tersebut, seperti kedutan pada kaki atau gerakan otot yang tidak teratur. Tapi tetap saja, tiap kali itu terjadi, hatinya masih terasa teriris.

Ketika spasme itu akhirnya mereda, Dirga menarik napas panjang dan perlahan kembali merasa tenang. "Mau keramas dong Bang. Gerah banget," Ia memang sudah sangat ingin keramas. Rambutnya sudah terasa gatal dan mulai berminyak. Tapi bagaimanapun dia tidak dapat melakukannya sendiri lagi.

"Oke!"

Jovan meraih botol sampo dari rak yang tergantung di dinding kamar mandi. Rak itu dipasang rendah agar bisa dijangkau dengan mudah dari kursi mandi. Ia menuangkan sedikit sampo ke tangan, kemudian mulai memijat lembut kepala Dirga.

Dengan tangan yang telaten, Jovan menyusuri helai demi helai rambut adiknya. Sampo yang beraroma segar memenuhi udara. Mata Dirga perlahan terpejam, menikmati setiap sentuhan tangan abangnya. Setiap gerakan Jovan, dari cara ia membasuh rambut hingga memijat bagian belakang leher, dilakukan dengan sangat telaten.

Selagi Jovan sibuk dengan kepalanya, Dirga menyabuni bagian tubuhnya yang dapat ia gapai. Hanya seperti formalitas sebenarnya, agar ia dapat merasa masih dapat melakukan beberapa hal secara mandiri. Karena pada akhirnya, abangnya akan tetap melakukan semuanya.

Setelah selesai dengan sampo di rambut Dirga, Jovan meraih kepala shower yang bisa dilepas dari gantungan. Pancuran air hangat mengalir lembut, membilas sisa-sisa sampo dari rambut adiknya. Dirga menutup mata dan menikmati hangatnya air yang mengalir di kulit kepalanya.

Saat pertama kali ia dibantu untuk mandi dan sadar selamanya tidak dapat melakukannya sendiri lagi, ia hampir selalu menangis. Tapi sekarang ia sudah menerimanya dengan lapang dada.

Setelah memastikan tubuh adiknya sudah bersih, Jovan membantu Dirga mengeringkan tubuhnya menggunakan handuk yang lembut. Tidak lupa ia memakaikan jubah mandi sebelum membawa adiknya menuju kamar untuk berpakaian.

"Mau sarapan di sini atau di luar?" tanya Jovan sambil menyisir rambut adiknya.

"Kok sarapan? Kan aku mau pergi makan,"

"Jadi gak sarapan? Terus gak minum obat?"

Dengan sedikit malas, ia akhirnya mengangguk. "Yaudah deh, sarapan dulu. Tapi dikit aja ya Bang?"

Jovan mengiyakan permintaan adiknya. Lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali, karena ada beberapa obat yang harus diminum setelah makan.

"Jajannya mau berapa? Mau cash apa abang transfer aja?" tanya Jovan sambil mendinginkan nasi dan telur dadar kecap yang menjadi sarapan adiknya. Sarapan itu sudah ia siapkan sebelum membantu adiknya mandi dan meletakkannya di nakas samping tempat tidur.

Two Sides of CoinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang