Head 5

466 67 30
                                    

Sekar menarik napas dan menghembuskannya kasar saat melihat bangku yang menjadi tempat Dirga duduk tampak kosong. Dari jam yang menunjukkan waktu sudah cukup siang, dapat disimpulkan sepertinya sahabatnya itu tidak masuk sekolah hari ini.

"Dirga gak masuk?" tanya Sekar pada Yudha yang sedang membereskan tas di bangkunya. Sepertinya ia juga baru sampai.

"Mungkin. Gak ada kabar dari semalam, chat kita kan sama-sama gak dibalas. Bang Jovan juga gak ada ngabari. Biasanya kalau izin suratnya dititip ke kita."

Mendengarnya Sekar semakin lesu. Padahal ia sangat menantikan kehadiran Dirga pagi ini. Ia ingin meminta maaf secara langsung atas ucapannya yang salah dan, mungkin, telah menyakiti sahabatnya itu. Dirga terus mendiamkan mereka setelah percakapan mereka selesai hingga saat ini. Bahkan tidak ada pesan atau panggilan mereka yang dibalas satupun olehnya.

"Gak usah kepikiran terus. kayak yang gue bilang kemarin, Dirga pasti paham kita gak sengaja ngomong kayak gitu. Cuma ngambek dikit aja paling," Yudha mencoba menenangkan Sekar yang tampak murung. Ia tahu Sekar masih kepikiran. Mereka bahkan semalaman membahas perihal Dirga yang mendiamkan mereka melewati telpon.

Sekar sebenarnya tidak setuju dengan pendapat Yudha. Sebagai orang yang lebih lama mengenal Dirga dibandingkan Yudha, Ia tahu betul bahwa Dirga adalah orang yang cukup perasa dibalik sifatnya yang selalu tampak ceria dan asal bicara. Ia juga tahu Dirga adalah orang yang akan memendam semuanya hingga tidak tertahankan lagi. Jika sampai marah dan mendiamkan mereka seperti ini, berarti mereka memang sudah kelewatan.

Ditengah perbincangan mereka, tiba tiba terdengar dering telpon yang ternyata berasal dari ponsel Yudha.

"Bang Jovan," gumamnya. Sekar dan Yudha saling bertukar pandang ketika nama Jovan muncul di layar ponsel itu. Sekar yang memang sejak awal memiliki firasaat yang tidak enak, sekarang semakin khawatir. Tanpa berpikir panjang, Yudha segera menjawab panggilan tersebut. Sedangkan Sekar mencondongkan telinganya ke telinga Yudha agar dapat mendengar percakapan mereka.

"Halo, Bang," sapanya.

"Halo Yud. Dirga gak masuk sekolah, abang lupa titip surat. Tapi tadi udah hubungi guru kalian kok. Tolong sampaikan suratnya nyusul kalau ada ditanya ya,"

"Iya Bang, nanti disampaikan. Dirga kenapa Bang? Aman kan?" tanya Yudha tanpa basa basi.

"Dia gak enak badan dari semalam. Ini baru aja bawa dia ke rumah sakit, semoga aja gakpapa," jelas Jovan singkat dan terdengar terburu buru. Ntah apa yang ditutupi, Yudha merasa sahabatnya itu sedang tidak baik baik saja. "Makasih ya Yud,"

"Gimana? Dirga kenapa?" tanya Sekar tidak sabar begitu telpon tertutup.

"Gak apa-apa, cuma gak enak badan. Bang Jovan bawa dia ke rumah sakit buat periksa," jawab Yudha, mencoba menenangkan Sekar.

"Kalau cuma gak enak badan, kenapa harus ke rumah sakit? Beneran gakpapa?"

"Kar, tenang dulu," ucap Yudha sambil memegang tangan Sekar. "Kalau ada apa-apa yang serius, Bang Jovan pasti bakal langsung ngabari kita."

Sekar hanya dapat mendengus sebal, kenapa sedari tadi Yudha tampak santai dan tidak khawatir. Ia tahu betul sekecil apapun sakitnya Dirga tidak dapat dianggap sepele. Pada dasarnya sahabatnya itu memang tidak sehat.Jika sampai ia dibawa ke rumah sakit, pasti ada sesuatu yang benar-benar tidak beres.

Melihat Sekar yang masih tampak murung, Yudha mengusak rambut gadis itu untuk mengusilinya seperti biasa. Tapi ia harus menelan kecewa karena tidak mendapat respon apapun. Malah yang ia dapat wajah gadis kesayangannya yang semakin terlihat murung. Dan Yudha tidak suka itu.

Two Sides of CoinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang