Head 6

444 67 32
                                    

Dirga dapat merasakan banyak orang yang menatapnya saat ia berjalan di lorong sekolah menggunakan kursi roda elektrik baru nya. Ia sudah menduga ini akan terjadi, pasti akan sangat mencolok dan mecuri perhatian banyak orang. Bentuk kursi roda yang cukup besar, ditambah dengungan mesin yang terdengar saat rodanya bergerak.

Jika dulu dia hanya menggunakan walker atau kursi roda biasa saja rasanya sudah cukup aneh. Sekarang dengan kursi roda elektrik ia merasa benar benar seperti orang sakit. Meski ia sadar diri, ia memang sakit.

Ditambah lagi dengan selimut tipis yang menutupi kedua kakinya. Fungsi utamanya bukan untuk melindunginya dari hawa dingin, tapi untuk menutupi bahwa sebenarnya ia menggunakan popok dewasa dibalik celana abu abunya. Dirga tidak siap jika teman temanmya tau. Bisa hilang harga dirinya.

Saat pertama kali memakainya, ia merasa luar biasa malu. Tapi memikirkan jika harus mengalami kejadian yang sama seperti saat ia di apartemen kemarin di sekolah, tentu lebih memalukan. Lagipula tidak ada yang dapat membantunya berdiri dan berpindah tempat di sekolah. Ke kamar mandi akan sangat sulit.

Tapi semua pikiran aneh itu hanya akan Dirga simpan dalam hati. Abangnya yang sedang mendampinginya saat ini tidak perlu tahu. Masih banyak hal lebih penting yang harus dipusingkannya. Jovan sudah memgambil cuti dua hari penuh untuk mendampinginya sampai kursi roda elektrik yang ia pesan datang. Bahkan abangnya itu benar benar memastikan bahwa ia cukup menguasai untuk mengoperasikannya sebelum mengizinkannya untuk kembali ke sekolah.

"Abang antar sampai masuk kelas ya Dek,"

"Iya Bang,"

Dirga merasakan kursi rodanya diambil alih. Ia melepaskan genggamannya pada controller kursi roda, membiarkan abangnya yang mendorongnya hingga kelas. Untuk jalanan lurus seperti ini ia sudah cukup lihai, tapi ia memang belum yakin dapat menggunakannya dengan baik di kelas yang dipenuhi meja dan kursi.

Kelas masih cukup sepi saat mereka masuk, hayna ada sekitar lima murid yang sudah hadir. Kedua sahabatnya juga belum tampak. Dirga memang sengaja datang lebih pagi agar kedatangannya tidak dilihat banyak orang.

Begitu sampai di meja Dirga, Jovan menggeser kursi yang ada agar kursi roda adiknya dapat masuk ke meja dengan leluasa. Ia juga membantu meletakkan tas, tempat minum, dan lainnya. Memastikan semuanya dapat dijangkau dengan mudah.

"Beneran udah gak pusing kepalanya?" tanya Jovan sambil merapikan selimut yang menutupi kedua kaki adiknya.

"Udah nggak, gak percaya banget. Pergi kerja sana,"

"Yakin gak perlu ditunggui? Abang bisa izin satu hari lagi kok,"

"Kayak anak TK aja ditunggui," protes Dirga dengan kening yang berkerut. "Udah sana pergi, nanti telat,"

Jovan sekali lagi memastikan seluruh kebutuhan adiknya terpenuhi. Setelah semuanya sudah aman, ia mengusap kepala Dirga lembut dan berpamitan untuk ke kantor. Tidak lupa ia berpesan agar Dirga langsung menelponnya jika merasa tidak enak badan atau membutuhkannya, sekecil apapun. Jovan tidak ingin kecolongan lagi.

Setelah Jovan pergi, perlahan satu persatu siswa berdatangan. Beberapa menyapanya dan menanyakan kabarnya yang absen selama dua hari ini. Dirga menjawab semua pertanyaan itu dengan ceria seperti dirinya yang biasa. Semua temannya tahu mengenai penyakit yang ia derita, jadi melihat kemunculannya dengan kursi roda baru ini tidak membuat mereka bertanya apa penyebabnya.

"Gaaa!"

Dirga menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Sekar memanggilnya. Gadis itu sudah langsung memeluknya sebelum Dirga sempat membalas sapaannya. Ia jadi salah tingkah sendiri, tapi ia cukup senang ternyata kehadirannya  masih dinanti.

Two Sides of CoinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang