Head 1

650 72 33
                                    

"Abang seriusan mau nikah?"

"Iya Dek, udah 100 kali ini nanyanya." jawab Jovan dengan pangilan sayangnya kepada adiknya, Dirga.

Saat ini Jovan sedang berjongkok untuk mengikat tali sepatu adiknya. Bukan karena adiknya kurang ajar, tapi adiknya memang sudah tidak mampu melakukakn beberapa aktivitas sederhana.

Penyakit ALS sudah merebut banyak hal dalam 5 tahun ini, Juvenile Amyotrophic Lateral Sclerosis tepatnya. Mengingat adiknya mendapat diagnosa saat berumur 10 tahun. Penyakit ini mempengaruhi neuron motorik di otak, menyebabkan kelemahan otot progresif, kesulitan berbicara, menelan, kesulitan bernapas. Dan berujung kematian. Tidak ada kta sembuh untuk penyakit ini.

Adiknya sudah harus menggunakan tongkat dan kursi roda kemana mana. Tangannya juga sudah tidak berfungsi sepenuhnya. Bahkan otot pernapasannya juga sudah mengalami kemunduran. Tapi mereka cukup bersyukur Dirga mengalami progres yang cukup lambat.

"Kok gak nanya pendapat aku?" protes remaja laki laki berkulit sawo matang ini. Ia masih tidak terima tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang cukup penting.

"Ya ngapai. Mau ngelamar itu yang ditanya orangtua calon sama calonnya. Ayah sama Bunda juga udah tau." Jovan mengusak rambut adiknya gemas.

"Siapa yang buat peraturan adiknya gak harus ditanya?" Bibir Dirga sudah mengerucut. Rasa kesalnya sudah tidak bisa ditahan. "Kalau adiknya gak izini. Tetap boleh nikah?"

Jovan hanya tertawa dan tidak menanggapi lebih lanjut, "Yuk berangkat, telat nanti sekolahnya."

Jovan meletakkan tongkat berkaki empat dengan roda di ujungnya di hadapan adiknya. Ia dengan hati-hati membantu Dirga berdiri, meletakkan tangannya dengan lembut di bahu adiknya untuk memastikan keseimbangannya. Setelah adiknya sudah mengontrol napasnya dan merasa sudah siap, mereka mulai berjalan.

"Kenapa? keram?" Tanya Jovan saat melihat adiknya mengernyit kesakitan saat sudah sedikit jauh dari pintu apartemen mereka.

Dirga mengangguk, "Dari semalam yang kanan sakit banget. Kurang peregangan kayaknya."

"Mau pakai kursi roda aja?"

"Mau jalan selagi bisa jalan."

Hati Jovan sakit mendengarnya. Memang tinggal menungu waktu saja. Kemampuan berjalan adiknya sudah sangat buruk. Tangannya juga sudah tidak mampu mengangkat sesuatu yang berat atau terlalu tinggi, itulah sebabnya ia mengganti walker adiknya dengan yang memiliki roda.

Mereka mulai berjalan ke lift apartemen mereka, perlahan dan tertatih. Dirga menggerakkan kakinya pelan sekali, tapi dengan sabar abangnya menunggu. Tangannya yang sebagai tumpuan tongkat tampak bergetar. Selama di dalam lift Jovan terus merangkul adiknya. Berusaha mengurangi beban yang harus ditopang Dirga.

Jovan membantu Dirga memasuki mobil dengan hati-hati, memastikan adiknya duduk dengan nyaman di kursi penumpang. Ia menyesuaikan sabuk pengaman Dirga dengan lembut, lalu bergegas masuk ke kursi pengemudi. Pagi itu mereka berangkat menuju sekolah Dirga, sebuah rutinitas sehari-hari mereka.

Di perjalanan, Jovan berusaha menciptakan suasana ceria. Ia menyalakan radio, memutar lagu-lagu favorit mereka, dan terkadang bergurau dengan Dirga untuk sedikit membujuk adiknya yang masih tampak murung dengan rencana pernikahannya.

"Bentar lagi sekolahnya libur, nanti mau ngapain aja selama liburan?" tanya Jovan dengan senyum di wajahnya.

"Ngapain lagi? Paling tidur, baca buku, nonton film, terapi," jawab Dirga dengan nada yang datar. "Memangnya abang mau ajak ke mana?"

"Belum tau, ada ide?"

"Jogja?" sebut Dirga asal. Sudah lama ia ingin mengunjungi kota itu.

"Ok! Kita ke Jogja nanti!"

Two Sides of CoinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang