MEET ME AT PAVILION (2)

16 1 0
                                    

This work belongs to Lovelly (LoVelly09).

Vote and comment.

🔥🔥🔥


‘Aku masih seperti yang dulu …. Menunggumu, sampai akhir hidupku ….’


Suara merdu Papa bergema dalam ruangan yang didominasi ukiran jati khas Jepara. Beliau bergoyang ala kadarnya karena faktor usia di panggung kecil yang selalu disiapkan setiap ada acara ulang tahun di keluarga kami.

Hari ini adalah acara ulang tahun dari nenekku. Lebih tepatnya adik dari nenekku yang berusia 96 tahun.

Senyumku tidak berhenti tersungging, saat melihat Papa tertawa lepas tanpa memikirkan urusan negara. Beliau terlihat sangat santai dan bahagia. Well, mengabdi kepada negara adalah impian Papaku sejak dulu. Padahal menurutku itu sangat menyulitkan dan sangat menguras tenaga maupun pikiran.

Tapi begitulah Papa. Bahkan beliau mendirikan beberapa kampus dan membuat program beasiswa untuk siswa berprestasi. Tidak jarang aku memimpikan sosok pria yang seperti Papa. Selain dermawan, Papa juga sangat setia kepada mendiang Mamaku. Setelah melahirkanku, Mama meninggal dan Papa memutuskan untuk hidup melajang hingga sekarang.

Papa selalu bilang, tidak ada yang bisa menggantikan Mama dalam hidupnya. Ah, putri dari pria sesetia Surya Tirto Atmojo harus bertemu dengan cowok sebrengsek Riko.

“Hah!” Aku mendengus setelah meneguk orange jus hingga tersisa separuh.

“Nggak ikut nyanyi kamu?”

Aku menoleh dan spontan menggeser tubuhku agar Mas Mahawira bisa duduk di sebelahku.

“Masih sakit,” jawabku sambil menunjuk kakiku yang terbalut ankle wrap dengan dagu.

“Lagian, kamu ngapain sih pakai sepatu heels kayak gitu?” celetuk Mas Mahawira.

“Fashion,” jawabku sambil meneguk minumanku hingga tandas.

“Fashion kalau nggak nyaman, mending nggak dipakai,” ujar Mas Mahawira nggak mau kalah.

“Gaya nomor satu, nyaman nomor sekian,” ucapku sambil meringis.

“Dasar kamu tuh.” Mas Mahawira ikut tertawa dan mengelus puncak kepalaku.

Mas Mahawira adalah salah satu ajudan Papa. Satu-satunya ajudan Papa yang paling dekat denganku.

Tidak lama kemudian senyumku surut, saat melihat Mbak Sekar yang menggandeng mesra lengan Mas Abisena sambil berbincang dengan tanteku.

“Mas, kenapa Mas Abi mau sih sama Mbak Sekar? Galak begitu,” tanyaku tanpa mengalihkan tatapan dari Mas Abi yang semakin tampan dengan kemeja biru muda bergaris  dan celana kain formal.

“Abi nggak mungkin bisa nolak. Ucapan Papa kamu itu bagaikan perintah untuknya.” Jawaban Mas Mahawira sontak membuatku menoleh ke arahnya.

“Maksud Mas Wira? Papa yang minta Mas Abi nikahin Mbak Sekar?” tanyaku semakin penasaran.

“Yah, begitulah,” jawab Mas Mahawira sambil mengangguk.

“Ish, emang Mbak Sekar nggak bisa cari suami sendiri? Dia ‘kan CEO Tirto grup, pasti kenalannya juga banyak,” cicitku.

Mbak Sekar dipercaya Papa buat memegang perusahaan properti warisan dari eyang. Dulu Tirto grup hanya memiliki 2 hotel dan 3 Resort. Semenjak dikelola Papa, jadi berkembang pesat hingga sekarang memiliki 17 hotel dan 15 Resort yang tersebar di Indonesia.

Setelah Papa menjabat sebagai menteri pertahanan, perusahaan itu dikelola Mbak Sekar. Setahuku masih belum ada penambahan properti selama dipegang Mbak Sekar.

“Justru karena kenalannya banyak, Pak Surya takut Sekar dapat suami yang nggak tepat,” jelas Mas Mahawira sambil menyantap pukis yang tersaji di meja.

Aku kembali melihat ke arah Mas Abisena dan Mbak Sekar dengan bibir mengerucut, sinis. Mereka benar-benar tidak serasi. Mas Abisena terlalu tinggi untuk Mbak Sekar. Wajahnya yang jutek juga tidak cukup cocok untuk menjadi Bu Persit.

“Kenapa? Kamu nggak suka sama Abi?” tanya Mas Mahawira. “Jangan salah, meskipun dia banyak diamnya, tapi Abi itu pria yang baik, sayang keluarga dan nggak neko-neko.”

Penjelasan Mas Mahawira semakin membuatku ingin mengorek informasi lebih dalam.

“Oh iya? Emang Mas Abi sebaik apa?” tanyaku ingin tahu.

“Ya sebaik itu, nanti kamu juga bakalan kenal dia setelah jadi suami Sekar,” jawab Mas Mahawira.

“Ish, semoga aja nggak jadi nikah.” Buru-buru aku menutup mulutku saat kalimat spontan itu terlontar begitu saja.

“Kamu ngomong apa?” tanya Mas Mahawira yang sepertinya mendengar ucapanku.

“Eng-enggak, aku mau ke toilet,” ucapku sambil berdiri.

“Mau aku anter?” Mas Mahawira menawarkan.

“Nggak usah, cuma ke toilet. Deket, aku bisa,” jawabku sambil berjalan terpincang.

“Aduh, Gendhis! Ngomong apa sih!” Aku berceletuk sendiri. “Meskipun Mbak Sekar jahatnya kayak setan, kamu nggak boleh doain gitu,” peringatku untuk diri sendiri.

***

Aku merapikan rambut di depan cermin panjang di dalam kamar mandi. Ku ikat ekor kuda ke belakang dengan menyisakan beberapa helai di bagian depan. Tidak lupa ku rapikan gaun selutut model sabrina warna merah jambu, hadiah dari Papa kemarin. Sayang aku tidak bisa memakai heels untuk mempercantik gaun ini.

Dengan perlahan, aku mengayunkan kaki keluar dari kamar mandi. Namun, langkahku terhenti saat mendengar suara Mbak Sekar yang sangat familiar.

Aku mengintip dari balik tembok kamar mandi dan mendapati Mbak Sekar dan Mas Abisena sedang mengobrol. Tidak terlihat seperti obrolan mesra pasangan yang sempat aku lihat beberapa waktu tadi. Sepertinya mereka sedang bertengkar.

“Abi, please. Kita udah sepakat soal ini, aku nggak mau bahas lagi.” Suara Mbak Sekar terdengar tegas. Dia bersedekap di depan Mas Abisena dengan wajah ketusnya.

“Sekar, tapi ibuku ….”

“Cukup, Abi! Aku nggak mau dengar alasan kamu. Nggak akan ada yang berubah dari kesepakatan kita! Titik!” ucap Mbak Sekar.

Mas Abisena terlihat berusaha lebih tenang. Dia melihat kembali ke arah Mbak Sekar dan berbicara dengan lirih, tetapi aku masih bisa mendengarnya.

“Sekali aja, Sekar. Ibu mau kamu datang,” ucap Mas Abisena dengan sangat lembut.

Baru kali ini aku melihat binar mata Mas Abisena yang tidak berdaya seperti itu.

“Abi, aku sibuk. Kamu bisa bilang sama Ibu kamu kalau aku banyak kerjaan. Ibu kamu pasti ngerti lah. Aku bukan pengangguran,” jawab Mbak Sekar panjang lebar. 

Mereka saling diam beberapa saat, sebelum Mbak Sekar kembali angkat bicara.

“Udah, nggak ada perdebatan lagi diantara kita. Aku mau pulang.” Mbak Sekar langsung melenggang pergi. Suara stiletto yang menginjak lantai, bega nyaring di lorong.

Mas Abisena hanya terdiam di tempat sambil menghela napas. Tidak lama kemudian dia berjalan membuntuti Mbak Sekar.

“Astaga, Mas Abi. Mending jadi pacar aku aja nggak sih,” celetukku spontan.

TO BE CONTINUED….

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AGE GAP ROMANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang