Chapter 14

8 1 0
                                    

Hi, readers!
Chapter 14 adalah chapter terpanjang yang pernah aku bikin. 3000 kata lebih 🥲
Gak apa-apa yah, biar kalian puas bacanya 🤣
Semoga pada sukaaa
Happy reading 📚

 3000 kata lebih 🥲Gak apa-apa yah, biar kalian puas bacanya 🤣Semoga pada sukaaaHappy reading 📚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meski hari ini adalah Sabtu, Jena tetap pergi ke sekolah demi keperluan ekskul English Club-nya. Sebenarnya gadis itu sungguh malas bersiap-siap di pagi buta padahal seharusnya ia memiliki jatah bersantai seharian. Beruntung Caca juga diharuskan menghadiri rapat wajib OSIS selaku pengurus bidang seni. Setidaknya jika ada Caca, semangat Jena sedikit timbul karena ia bisa menceritakan momen manis yang dilaluinya bersama Arai semalam.

Setelah selesai dengan kegiatan ekstrakurikuler masing-masing, kedua sahabat itu sepakat untuk menyantap makan siang di kantin terlebih dulu sebelum pulang. Agenda makan siang itu tentu saja dibarengi dengan sesi cerita Jena.

Caca berjalan dengan dua mangkuk mie bakso di tangan. Di salah satu meja kantin, Jena duduk menunggunya dengan setia.

"Spesial ekstra sambal dan daun seledri untuk sahabatku yang lagi sakit," ucap Caca sambil menyodorkan satu mangkuk.

"Thank you, bestie!" timpal Jena sambil menerima mangkuk itu.

Sebenarnya, 'lagi sakit' merupakan keterangan yang sedikit berlebihan. Jena memang masih mengenakan perban di pergelangan kakinya dan berjalan dengan bantuan kruk demi menuruti anjuran Bu Dahlia. Padahal, sebenarnya kakinya sudah tidak terasa terlalu sakit. Ia berencana meminta ibunya menelepon Dokter Iwan, dokter pribadi keluarga mereka, agar datang sore nanti. Jena ingin perbannya dilepas lebih awal. Malam nanti, kakeknya akan menggelar acara makan malam istimewa dalam rangka merayakan hari ulang tahun. Jena ingin menghadiri acara tersebut tanpa harus menggunakan kruk.

"Anything for you¹, Jen, anything for you." Sambil duduk, Caca memasang ekspresi hiperbolanya yang biasa sambil menempelkan jempol dan telunjuknya membentuk simbol hati kecil. "Terus gimana? Pas pulang si Arai—"

"Nomor dua belas, es susu cokelat!" Bibi penjual es meneriakkan nomor antrian pesanan Jena, memotong kalimat Caca.

"Punya kamu ya?" tanya Caca.

Jena memasang cengiran lebar. "Hehe, iya, Ca..."

Caca memajukan bibirnya beberapa senti, berpura-pura sebal. "Hadeuh, padahal aing udah penasaran gimana kelanjutan cerita si ganteng kalem!" Berkebalikan dengan ekspresi dan kalimatnya, tubuhnya bersiap bangkit.

Jena terbahak dan segera menahan tangan sahabatnya itu. "Gak usah, Ca! Aku bisa sendiri, kalau cuma gelas es." Tangannya lalu menumpu ke meja untuk membantu tubuhnya berdiri.

"Eit, eit, eit!" Giliran Caca menahan tangan Jena. "Udah, duduk aja! Lupa ya tadi aku ngomong apa? Anything for you, bestie!" Ia segera melesat.

Jena terkikik melihat tingkah sahabatnya yang sekarang sudah berdiri menghadap kios es, mengobrol dengan bibi penjualnya.

"Hei, Jena." Sapaan seseorang membuat Jena mengalihkan pandangannya dari Caca.

The Wolf I LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang