JUDUL KEDUA DALAM SERI JENAKA
The Wolf I Love - On Going
Mon, Wed, Fri - 20.30 WIB
--------------------------------------------------------------
Sudah lama Jenaka mengubur impiannya untuk memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja. Seisi Kota Sidikar...
Hi, readers! Thanks God mulai bisa update sesuai jadwal lagi 🥲 Selamat datang di Chapter 9! Di chapter ini kita masih ngikutin drama keluarganya Jena yang nyakitin hati banget huhu. Semoga kalian suka yah, dan jangan lupa vote dulu sebelum mulai baca hehe Happy reading! 📚
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cahaya kilat sekali lagi membelah langit, disusul oleh gelegar petir dan embusan angin kencang. Jena merapatkan jaket rajut yang melapisi seragamnya lalu mundur untuk menempelkan punggungnya ke dinding halte, menghindari percikan air hujan yang semakin deras. Ia tidak dapat duduk di bangku besi yang tersedia, air yang menggenang di sana akan membuat rok seragam biru tuanya basah.
Bus dengan jalur yang menuju rumahnya telah menepi beberapa saat lalu, tetapi Jena tidak turut berbondong-bondong bersama para penumpang lain untuk menaikinya. Ayahnya telah menelepon dan mewanti-wanti Jena untuk menunggu saja di halte karena beliau akan menjemput. Hujan terlalu deras dan akan berbahaya bagi Jena untuk turun dari kendaraan umum dan menyeberang ke gerbang perumahan, katanya.
Jena sih, tidak keberatan sama sekali. Malah lebih asyik pulang sekolah dengan menumpang mobil sang ayah, mereka dapat menyetel album The Beatles dan bernyanyi bersama, juga saling beradu guyon. Seringkali mereka juga akan mampir di kios martabak. Sudah cukup lama sejak terakhir kali ayahnya sempat menjemput dan mengajak Jena membeli martabak keju favoritnya. Sejak resmi menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kota Sidikara satu tahun lalu dan berniat maju di Pilkada 2021 kelak sebagai calon wali kota, beliau semakin sibuk. Rasanya Jena sudah tidak sabar ingin segera berhenti di kios martabak besar itu dan mencium aroma mentega terpanggang yang selalu sukses membuat air liurnya menetes.
Saat melihat Toyota Harrier putih sang ayah menepi, Jena tersenyum dan segera memasang hoodie dari jaket rajutnya lalu berlari ke kursi penumpang. Namun, alih-alih pintu, malah jendelanya yang terbuka, menampakkan seorang wanita berambut bergelombang sebatas bahu yang tersenyum dengan bibir semerah kelopak mawar.
"Jena duduk di belakang ya, Sayang!" serunya sedikit keras, untuk mengalahkan bising hujan.
Walau sedikit kebingungan, Jena segera menuruti instruksi itu dan cepat-cepat masuk ke bangku belakang agar jaketnya tidak semakin basah.
"Lama nunggu, Kak?" sapa ayah Jena dari bangku kemudi sambil melongokkan kepalanya ke belakang. "Buka aja jaketnya biar badan kamu gak kedinginan, itu udah agak basah."
Jena hanya menggeleng, ia masih merasa sedikit terkejut sekaligus bingung karena ternyata ayahnya tidak sendiri. Belum lagi, aroma bunga peony dan kayu cedar yang menguar begitu kuat di seisi mobil seolah menusuk hidungnya.
Seolah membaca raut wajah Jena, sang ayah melanjutkan, "Kamu masih inget Tante Yeni? Anggota partai, kalian udah pernah ketemu waktu di Hotel Hilton." Beliau menyentuh pundak wanita di sebelahnya.