Chapter 2

37 5 10
                                    

Hi, readers!

Apa kabar? Maaf ya kemarin hiatus lama banget karena kesibukan kantor :')

Seneng banget akhirnya bisa lanjut lagi cerita ini :3 Cerita Arai dan Jena kesayangannya aku, yang bikin belum mau move on ke cerita lain dan malah bikin plot yang sama dengan POV berbeda HAHAHA ISENGGG! 

Semoga kalian juga suka ya sama cerita mereka (walaupun di chapter ini Arai belum muncul sih, hehe), selamat membaca dan jangan lupa vote dulu!

Semoga kalian juga suka ya sama cerita mereka (walaupun di chapter ini Arai belum muncul sih, hehe), selamat membaca dan jangan lupa vote dulu!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kok belajar di ruang tamu lagi, Kak? Mau ada Farel?"

Jena yang tengah larut dalam latihan soal matematikanya hanya mengangguk tanpa mengangkat kepala. Namun, ujung matanya menangkap sosok sang ibu yang telah memakai jilbab dan kardigan panjang, tanda beliau akan pergi keluar. "Mamah mau ke mana?"

"Nyimpen mobil sebentar ke bengkel depan, mumpung belum terlalu malem. Nanti pulang bareng si Papah, katanya tadi udah di jalan." Ibu Jena memakai sandal lalu melangkah keluar dari pintu rumah yang dibiarkan Jena dalam keadaan terbuka untuk menanti kedatangan Farel. "Kakak mau titip cemilan?"

Sejak kecil, ibu dan ayahnya selalu memanggil Jenaka dengan sebutan 'Kakak'. Meski hingga kini, saat usianya telah menginjak enam belas, tidak pernah ada adik yang hadir untuknya. Jena menggeleng untuk menjawab pertanyaan tadi.

Ibu Jena mencibir dengan senyum geli. "Deuh, tumben gak nitip. Mentang-mentang mau ada delivery spesial dari ayang kurir ya?"

Jena tahu ibunya merujuk pada Farel. Kedua orang tuanya memang kerap meledek kebiasaan Farel yang selalu membawa berbagai jenis kudapan setiap kali berkunjung. Gadis itu mendelik sebal. "Jahat ih Mamah, ganteng gitu dikata kurir."

"Iya deh iyaaa, yang ayangnya ganteng." Sang ibu terkekeh sembari berlalu.

"Bukan ayang!" balas Jena secara spontan.

Saat kembali mengerjakan latihan soal, Jena sedikit kehilangan fokusnya. Kepala gadis itu malah sibuk mengkaji ulang teriakannya beberapa detik yang lalu. Bukan ayang? Lalu, apa? Mungkin, belum akan menjadi kata yang lebih tepat. Namun, benarkah begitu? Apakah belum akan berubah menjadi sudah?

Jena kembali dibuat gamang. Bukan, bukan oleh lelaki yang kini memenuhi pikirannya. Melainkan, oleh perasaannya sendiri. Menyaksikan Caca yang jatuh cinta pada Pete hanya salah satu pemicu kesadarannya saja. Sebenarnya, Jena selalu tahu bahwa perasaannya pada Farel tidaklah cukup. Ya, ia menikmati kebersamaan mereka. Dan ya, ia menyukai Farel secara fisik—sama seperti mungkin semua gadis di sekolahnya. Farel memang tampan dan berperilaku memikat. Bahkan, Jena harus mengakui bahwa ia merasa berdesir setiap kali bersentuhan dengannya.

Namun, mengapa itu semua tetap tidak terasa cukup?

Jena menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, berusaha mengusir pemikiran kurang penting itu dan kembali fokus pada soal-soal integral di hadapannya. Kemampuan berkonsentrasi merupakan salah satu hal yang selalu membuat Jena bangga pada dirinya sendiri. Terbukti, gadis itu kemudian kembali larut dalam rangkaian angka di hadapannya hingga setelah entah berapa lama waktu berlalu, terdengar bunyi deham halus dari ambang pintu.

The Wolf I LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang