JUDUL KEDUA DALAM SERI JENAKA
The Wolf I Love - On Going
Mon, Wed, Fri - 20.30 WIB
--------------------------------------------------------------
Sudah lama Jenaka mengubur impiannya untuk memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja. Seisi Kota Sidikar...
Apa kabar? Maaf ya kemarin hiatus lama banget karena kesibukan kantor :')
Seneng banget akhirnya bisa lanjut lagi cerita ini :3 Cerita Arai dan Jena kesayangannya aku, yang bikin belum mau move on ke cerita lain dan malah bikin plot yang sama dengan POV berbeda HAHAHA ISENGGG!
Semoga kalian juga suka ya sama cerita mereka (walaupun di chapter ini Arai belum muncul sih, hehe), selamat membaca dan jangan lupa vote dulu!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kok belajar di ruang tamu lagi, Kak? Emang bisa fokus?"
“Mau ada Farel, Mah,” jawab Jena yang tengah larut dalam latihan soal matematikanya tanpa mengangkat kepala. Namun, ujung matanya menangkap sosok sang ibu yang telah memakai jilbab dan kardigan panjang, tanda beliau akan pergi keluar. "Mamah mau ke mana?"
"Nyimpen mobil sebentar ke bengkel depan." Ibu Jena memakai sandal lalu melangkah keluar dari pintu rumah yang dibiarkan Jena dalam keadaan terbuka untuk menanti kedatangan Farel. "Anak itu sering di sini sampai malem. Emang gak ganggu belajar kamu?"
Sejak kecil, ibu dan ayahnya selalu memanggil Jenaka dengan sebutan 'Kakak'. Meski hingga kini, saat usianya telah menginjak enam belas, tidak pernah ada adik yang hadir untuknya.
Jena menggeleng untuk menjawab pertanyaan tadi. “Enggak kok, Mah. Malah Farel suka bantuin.”
Sebenarnya, Farel tidak banyak membantu. Belajar bukan merupakan hal yang lelaki itu sukai. Tetapi, ia lumayan menghibur Jena dengan guyonannya sehingga dapat mengurangi rasa penat. Ia juga cukup berguna untuk mengetes hapalan Jena, dengan bantuan buku tentunya.
“Ya udah. Asal prestasi sekolah dan lomba-lomba tetep aman sih, gak apa-apa.” Berbeda dengan sang ayah yang kerap kali lebih bersantai dan memanjakannya, ibu Jena memang merupakan sosok yang selalu menerapkan disiplin keras sedari kecil.
“Iya, Mah. Aman, kok, aman.”
Ibu Jena mengangguk. Sesaat sebelum berlalu ia sekali lagi menengok. “Kakak mau titip camilan?”
“Gak ah, Mah,” jawab Jena, tahu Farel sebentar lagi akan datang dan ia tidak pernah datang dengan tangan kosong.
Ibu Jena mencibir dengan senyum geli. "Mau diantar langsung sama abang KuyFood pribadi yang gak pernah cukur rambut itu ya?"
Jena tahu ibunya merujuk pada Farel yang memang berambut gondrong. Kedua orang tuanya memang kerap meledek kebiasaan Farel yang selalu membawa berbagai jenis kudapan setiap kali berkunjung. Gadis itu mendelik sebal. "Jahat ih Mamah, ganteng gitu dikata-katain mulu."
"Iya deh iyaaa, yang ayangnya ganteng." Sang ibu terkekeh sembari berlalu.