10

4 2 0
                                    

.
.
.
.

Suasana tegang tadi malam perlahan mencair seiring dengan datangnya pagi yang lebih cerah. Meskipun kejadian di lantai atas masih membekas di benak mereka, Gavian dan William kembali ke ruang makan tanpa penjelasan yang mencurigakan. Gavian hanya bilang bahwa suara keras itu berasal dari rak buku yang roboh di salah satu kamar kosong. William? Dia seperti biasa-santai, tanpa ekspresi takut atau khawatir.

Sèanne memutuskan untuk mencoba mengalihkan suasana. "Udah, ya. Hari ini kita santai aja. Liburan ini masih panjang, jangan gara-gara kejadian aneh kita malah gak nikmatin waktunya."

"Iya, gue setuju sama Sèanne," timpal Naomi sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. "Daripada lo semua stres, mending kita ngelakuin sesuatu yang seru."

"Kayak apa?" tanya Isyihira, yang masih terlihat ragu.

Naomi berpikir sejenak. "Kita bisa masak bareng buat makan siang. Terus sore nanti, kita main truth or dare. Lo semua pasti suka drama kecil, kan?"

"Truth or dare?" Ezra mendengus. "Kayaknya bakal lebih banyak dare yang gila-gilaan kalo Naomi yang mimpin."

Naomi tersenyum jahil. "Justru itu serunya! Kita kan butuh suasana yang beda."

"Yaudah, gue ikut," kata Deon sambil mengangkat bahu. "Asal dare-nya gak suruh gue loncat dari balkon aja."

Yang lain tertawa kecil, dan perlahan suasana menjadi lebih santai. Akhirnya, mereka semua sepakat untuk memulai dengan acara masak-masak di dapur. Gavian dan Bagas bertugas memotong sayuran, meskipun mereka berdua sering salah ambil bahan.

"Bagas, itu jahe, bukan bawang putih!" tegur Kai, yang sibuk mengaduk adonan pancake. "Lo mau bikin makanan atau eksperimen?"

Bagas terkekeh, memasukkan jahe ke samping. "Sori, sori. Gue cuma salah ambil. Santai aja."

Sementara itu, Alexa sibuk mencampur bumbu untuk sup sambil sesekali memberikan instruksi ke Michelle, yang terlihat kikuk memegang spatula.

"Michelle, lo aduknya pelan-pelan aja, nanti minyaknya muncrat," kata Alexa dengan nada ramah.

Michelle mengangguk, wajahnya memerah sedikit. "Iya, iya, gue tau. Gue cuma gak biasa masak. Bukan salah gue kalo semua ini ribet."

"Makanya belajar, dong," kata Isyihira sambil tertawa kecil. "Ini momen langka lo megang spatula, Chel."

Meskipun banyak kekacauan kecil-seperti pancake yang gosong dan sup yang terlalu asin-mereka akhirnya berhasil menyajikan makan siang yang layak. Semua berkumpul di meja panjang, tertawa dan bercanda seolah kejadian aneh kemarin hanyalah mimpi buruk sementara.

"Ini enak banget, loh," kata Deon sambil menggigit potongan ayam. "Kita bisa bikin acara masak rutin kalo gini terus."

"Seriusan? Gue gak yakin kalian bakal mau makan pancake gosong gue lagi," canda Michelle.

"Ya, setidaknya ada yang lebih mending daripada makanan kantin sekolah," tambah Gavian, yang membuat semua tertawa lagi.

__

Sore harinya, seperti yang direncanakan, mereka berkumpul di ruang tengah untuk bermain truth or dare. Lingkaran sudah terbentuk, dan botol di tengah siap diputar.

"Siap-siap aja, ya," kata Naomi dengan senyum licik. "Gue yang pegang kendali di sini."

Satu per satu giliran datang, mulai dari dare sederhana seperti menari aneh selama satu menit, hingga truth yang lebih menggoda, seperti membongkar rahasia kecil yang memalukan. Tawa dan teriakan memenuhi ruangan, membuat villa terasa lebih hidup untuk pertama kalinya.

Who is the culprit?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang