"Kesunyian ini bukan pilihan, tapi jika bisa, aku ingin hidup tanpa dinding yang memisahkan aku dari suara."
ft. Haechan & Jeno
Lelaki berusia delapan belas tahun itu bernama Haka Bumi Artanaka. Pemuda yang memiliki semangat luar biasa untuk tetap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Duka yang selama ini berusaha kita sembunyikan, akan selalu tampak pada titik paling melelahkan dari sebuah usaha pelarian."
- Hirap Abadi Bab 11 -
Suasana syahdu malam ini terasa begitu sendu begitu rintik hujan kembali turun membasahi bumantara kota metropolitan. Deru kendaraan yang semula ramai kini perlahan mulai sepi. Hawa dingin terasa menusuk pori-pori kulit Juan begitu laki-laki itu turun dari mobil Ian selepas mengantar Haka pulang ke Panti.
Malam ini, bersamaan dengan gerimis yang kian deras berisiknya derai hujan seakan menjadi sensor untuk meredakan berisik di kepala Juan yang terasa berat. Kalau boleh jujur, selama di perjalanan pulang perasaan Juan benar-benar berkecamuk di antara, lega, sedih, marah, kecewa, semuanya tercampur di dalam lubuk hati. Belum lagi pikirannya yang begitu ramai. Ada banyak adegan terkaan akan ketakutannya setelah ia melihat keadaan Haka.
Melihat Haka yang belakangan ini sering merasakan nyeri di kepala dan denging yang selalu menyerang gendang telinganya memberikan kekhawatiran untuk Juan. Ingatan kelam yang pernah Haka alami terus saja terputar jelas di dalam memorinya. Juan ingat bagaimana menderitanya Haka setelah ia tidak lagi bisa mendengar, Juan ingat bagaimana orang-orang di sekitar Haka di lingkungan sekolahnya yang selalu meledek kekurangan Haka, bahkan tidak jarang Haka sering kali dikerjai. Sering Juan melihat teman-teman sekelasnya bersikap acuh dan enggan untuk bergaul dengan cowok itu, sering Juan melihat Haka selalu dilempari barang apapun hanya karena ia sering mengabaikan panggilan teman-temannya.
Semua tentang Haka masih menjadi rasa bersalah untuk Juan. Meskipun pada faktanya empat tahun lalu Juan pernah membenci Haka. Namun, rasa benci itu perlahan memudar ketika ia kembali menemui Haka di panti asuhan dengan kekurangannya yang tidak bisa mendengar.
Helaan napas panjang cowok itu lolos dari mulutnya. Rasa sesak masih terasa di lubuk hati cowok itu. Di bawah derasnya hujan, Juan menengadah menatap langit berharap ia dapat melihat cahaya bintang walau redup sekalipun.
"Tang, gue ikhlas atas kepergian lo tapi kalau boleh jujur, nyebut nama lo sampai detik ini masih bikin dada gue nyesek. Maaf kalau gue egois," gumam cowok itu.
Hingga tidak lama berselang ia melangkah menuju pintu rumah nya. Sejenak ia berhenti di depan pintu untuk sekadar meniriskan sisa air yang menetes pada pakaiannya. Dalam hati ia juga berdoa, semoga malam ini sang Papa tidak ada di rumah persis seperti awal ia berangkat.
Saat dirasa sudah cukup, ia perlahan membuka pintu untuk kemudian segera melangkah masuk. Begitu ia tiba di dalam cahaya remang-remang dan suara televisi yang terdengar membuat jantungnya berdegup. Sial, sepertinya malam ini ia akan kembali mendapatkan hukuman telak.
Pada saat ia melangkah lebih jauh ke dalam rumahnya, netra Juan dibuat terbelalak begitu melihat sosok laki-laki renta yang dibiarkan tertidur di atas kursi roda.