"Kesunyian ini bukan pilihan, tapi jika bisa, aku ingin hidup tanpa dinding yang memisahkan aku dari suara."
ft. Haechan & Jeno
Lelaki berusia delapan belas tahun itu bernama Haka Bumi Artanaka. Pemuda yang memiliki semangat luar biasa untuk tetap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Mau bagaimana pun masa lalunya pada dasarnya semua itu terjadi atas kelalaiannya, ia berhak memeluk rasa penyesalan itu."
- Hirap Abadi Bab 13 -
Pada kenyataannya tidak melulu tentang hujan di bulan Juni yang memiliki ketabahan, melainkan hujan di bulan November yang nyatanya memberikan Haka pelajaran tentang makna tabah yang sebenarnya, tentang waktu yang tepat untuk merenungkan kemana langkah dan takdirnya akan ia bawa, tentang masa depan yang masih ia usahakan. Rasanya sedikit berbeda hujan kali ini.
Derai rintik yang terdengar riuh berjatuhan mengenai atap genteng kamarnya, jauh lebih menyakitkan rasanya. Hujan bulan November kali ini, justru membuat Haka merenung bersama nestapa kenyataan yang ia lalui.
Sudah hampir empat hari ia berdiam diri di panti, mengurung diri di kamar, tidak memiliki niat untuk bertemu siapapun apalagi bertemu dengan Juan dan Ian, Haka memilih untuk merenung di dalam kamar. Terkadang ketika Ibu datang dan bertanya, hanya gelengan atau anggukan kecil yang bisa ia berikan. Setiap kali pupil matanya menatap mata Ibu, mata Haka tidak dapat berbohong, ada ketakutan yang tersirat di sana. Namun, sebisa mungkin Haka menahan air matanya. Meskipun pada akhirnya ia menangis sendirian.
Dan hari ini, lagi-lagi Ibu ke kamar tepat pada saat laki-laki itu berdiri di jendela sambil menengadahkan tangannya menadahkan air hujan. Matanya sejak tadi basah akibat air mata yang lagi-lagi menetes. Pada saat Ibu menepuk bahunya, dengan segera Haka membuang wajahnya ke arah lain dan segera mengusap air matanya.
"Ada yang ingin bertemu dengan kamu, Ka," kata Ibu dengan lembut.
Kedua alis Haka terangkat, "Siapa?" tanyanya.
"Orang yang kamu tunggu kehadirannya."
Kening Haka mengenyit dalam, pikirannya sontak menerka orang yang ibu maksud. Mungkinkah Juan membawa sang Papa ke panti hanya untuk bertemu dengannya? Ah, tapi rasanya tidak mungkin. Juan tidak seberani itu untuk membawa orangtua Haka keluar, apalagi Haka tahu kalau orangtua Juan sangatlah tegas.
"Kamu akan tahu setelah kamu bertemu dengan orang itu, Ka." Ibu kembali bersuara seraya mencengkram pundak Haka.
Tatapan Ibu seolah memberikan isyarat kepada Haka tentang orang yang ingin bertemu dengannya.
"Kuatin pundaknya ya, Ka?"
Haka semakin bingung dengan maksud perkataan Ibu. Namun, di lain sisi entah mengapa Haka merasa sedikit.
Detik kemudian Ibu mengajak Haka untuk segera keluar kamar. Sesaat Haka berhenti di ambang pintu. Ia kembali mengusap matanya yang masih memerah akibat nangis, lalu Haka menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar--menyusul Ibu.