Hilya berjalan menyusuri jalanan ibu kota setelah keluar dari apartemen milik Satya. Air matanya terus mengalir.
"Ummi, Abah!" ucapnya lirih sembari menyeka air mata yang tidak berhenti berlinang.
Wanita itu terus melangkah, hampir setengah hari dia menyusuri trotoar, hingga akhirnya dia berhenti di sebuah halte.
Gadis itu duduk untuk beristirahat di kursi halte yang membujur panjang. Hatinya masih diselimuti kesedihan. Dia duduk membungkuk dengan menutup kedua matanya, terisak tangis sangat dalam. Dan setelah beberapa menit baru dia menegakkan kepala.
'Bagaimana aku bisa pulang, bahkan aku tidak memiliki uang sepeserpun?' katanya dalam hati dengan menatap kosong arus lalu lintas di hadapannya. 'Ya Allah, aku harus bagaimana?' tanyanya lagi dengan meremas-remas jari jemarinya.
Di saat yang bersamaan gadis itu merasakan sesuatu yang menempel di salah-satu jarinya.
'Ya Allah... Cincin ini. Iya, aku bisa menjual cincin ini.'
Seketika gadis itu memperhatikan cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya.
'Aku harus mencari toko perhiasan untuk menjual cincin ini.'
Dengan senyum mengembang gadis berkerudung pastel bangkit dari tempat duduknya. Matanya mulai memperhatikan sekeliling, mencari pertokoan di mana dia bisa menjual cincin.
Beberapa saat kemudian matanya menyipit ketika melihat ada beberapa ruko berjajar di ruas jalan yang kira-kira seratus meter dari tempatnya berdiri.
Gadis itu memutuskan untuk segera melangkah menghampiri deretan ruko yang terletak di sebrang jalan itu.
"Ya Allah, kenapa aku tiba-tiba pusing?" ucapnya lirih.
Dipijitnya kepala yang tiba-tiba terasa berat itu, langkahnya pun berubah gontai, apalagi saat matanya tiba-tiba berkunang-kunang. Namun gadis ini tetap berusaha menguatkan diri dengan terus melangkah melewati zebra cross untuk menyebrang.
'Pasti ini karena aku belum makan,' gumamnya dalam hati.
Namun tiba-tiba, 'Brug!' Gadis itu terjatuh tepat di tengah jalan, membuat beberapa kendaraan yang melaju di tempat itu seketika terhenti.
******
Sementara itu di saat yang bersamaan, tampak dua orang laki-laki sedang melakukan perjalanan di dalam mobilnya. Salah satu di antara mereka terlihat sibuk berbicara dengan gawainya.
"Iya, baik. Aku dan Pak Satya sedang dalam perjalanan menuju lokasi."
Laki-laki bernama Dirga itu tampak menyimpan gawainya ke dalam saku jas setelah mengakhiri percakapan.
"Aneh sekali, tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada gempa, tiba-tiba gedung yang pondasinya sudah sangat kuat itu ambruk dan memakan banyak korban," kata laki-laki itu dengan melirik seorang teman yang duduk di sebelahnya.
"Hmmh!" Laki-laki bernama Satya itu menyahut dengan membuang napas keras.
"Polisi sudah ada di lokasi. Orang-orang kita bilang, korban bukan hanya para pekerja, tapi juga masyarakat setempat. Ada demo besar-besaran juga yang menuntut biaya ganti rugi dan penutupan proyekmu. Sepertinya kali ini, kamu akan rugi ratusan milyar," lanjut Dirga.
"Hmmh!" Satya kembali membuang napas keras.
"Kamu urus semuanya! Aku tidak perduli berapa banyak uang yang harus aku keluarkan, yang penting masalah ini bisa teratasi dengan baik," ucap Satya dengan wajah datar.
"Ya." Dirga mengangguk-angguk sembari melirik sahabatnya yang terlihat menutupi kepanikannya itu. "Sebentar," ucap laki-laki berkulit sawo matang itu kemudian. "Belum satu hari kamu menyakiti perasaan Hilya, tiba-tiba musibah besar datang padamu. Jangan-jangan ini balasan dari tuhan karena dia mengutukmu!" lanjutnya dengan wajah serius.
"Omong kosong! Kamu sendiri 'kan, yang bilang, kalau wanita itu sangat baik, jadi mana mungkin dia mengutukku? Karena orang yang baik, tidak mungkin berdoa jelek untuk orang lain."
"Satya! Mungkin Hilya memang tidak berdoa jelek untukmu. Tapi bisa jadi malaikat yang berdoa jelek untukmu, karena malaikat tidak terima kamu menyakiti gadis sebaik Hilya. Kamu sudah melukai seorang bidadari yang sengaja Tuhan kirim untukmu. Kamu menyia-nyiakan dia, kamu menyakiti perasaannya, hingga membuat malaika marah, dan Tuhan murka," sahut Dirga.
"Stop!" seketika Satya meninggikan suara. "Hal seperti ini wajar dalam bisnis. Jadi, tolong! Jangan kamu hubung-hubungkan masalah kecelakaan dalam proyekku dengan gadis itu." Tegas Satya dengan wajah memerah.
"Okey! Maaf!" sahut Dirga kemudian dengan mengalihkan pandangan dari laki-laki berjas hitam yang tampak kesal itu.
***
Waktu terus berlalu. Kini Satya dan Dirga tengah sibuk mengurus sebuah kecelakaan besar yang tiba-tiba terjadi di sebuah proyek pembangunan gedung berbintang yang ditangani oleh perusahaannya.
Sementara Hilya, saat ini tengah berada di sebuah klinik yang terletak di pinggiran ibu kota.
Malam telah menjelang, Hilya yang pingsan dari tadi sore, kini telah sadar.
"Hallo, dokter Melvi! gadis yang dokter bawa ke sini tadi sore, sekarang sudah sadar. Tapi saat ini demamnya sangat tinggi, badannya juga menggigil kedinginan, kondisinya sangat lemah," kata seorang perawat pada dokter Melvina di dalam telepon, seorang dokter cantik berusia 50 tahun yang telah menolong Hilya.
"Kamu lakukan tes urin atau tes darah untuk mengetahui lebih lanjut kondisi gadis itu, agar kita bisa memberikan penanganan yang tepat padanya," sahut dokter Melvina. "Aku tidak bisa ke klinik malam ini, ada jadwal operasi di rumah sakit. Jadi tolong, kamu rawat gadis itu dengan baik!" pesan dokter kemudian seraya menutup telepon.
Akhirnya perawat di klinik itu pun melakukan apa yang diperintahkan oleh dokter.
Setelah serangkaian pemeriksaan sesuai, perawat itu mulai memberikan suntikan dan obat kepada Hilya, hingga Hilya dapat tertidur pulas dan beristirahat malam ini.
***
Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga akhirnya pagi pun menjelang.
Hilya mulai membuka matanya, terlihat seorang perawat perempuan tengah mengganti botol cairan infus yang mengalir melalui selang ke pori-pori punggung tangan gadis cantik itu.
"Bagaimana, Mbak? Apa sudah lebih baik?" tanya perawat dengan ramah.
"Alhamdulillah," sahut Hilya dengan tersenyum.
"Saya tinggal dulu, ya! Silahkan istirahat lagi!" pamit perawat.
"Mbak! Saya sudah lebih sehat. Apa boleh saya keluar dari rumah sakit ini sekarang?" tanya Hilya dengan berusaha duduk tegak, ketika perawat berbalik hendak meninggalkannya.
"Tunggu dokter dulu ya, Mbak! Sebentar lagi dokter datang," sahut perawat itu seraya melanjutkan langkahnya.
Hilya menghelan napas dalam dengan mata terus mengikuti langkan perawat yang pergi meninggalkannya.
'Ya Allah, bagaimana aku bisa membayar biaya rumah sakit ini?' tanyanya dalam hati dengan menunduk lesu dan air mata yang menetes di pipi.
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Spesial
RomancePengusaha kaya bernama Satya ini mengira kalau gadis yang dinikahinya adalah gadis yang bodoh, karena gadis itu berasal dari desa. Dia tidak menyangka kalau niatnya memanfaatkan gadis itu berbuntut menjadi cinta.