⋆ 33: Return Through the Night ⋆

138 18 6
                                    

Malam itu, Hiro baru saja memasuki unit apartemennya yang terletak di lantai dua belas. Namun, ketenangan yang biasanya menyelimuti suasana itu pecah oleh getaran ponselnya yang semakin intens. Hiro menatap layar ponsel, melihat nama mamanya muncul di sana. Sudah lama tidak berkomunikasi dengannya.

Hiro membaca deretan pesan singkat dari sang mama yang seperti petir menyambar, membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju basement gedung tempat ia tinggal. Di sana, motornya sudah terparkir dengan rapi. Hiro memutar gasnya dengan penuh keberanian, meskipun jalanan sudah mulai sepi. Malam larut, dan hanya sesekali ada mobil yang melintas.

Kehidupan kota yang sibuk kini tampak jauh berbeda. Semuanya tampak senyap, namun Hiro tidak merasakan ketenangan. Ia hanya ingin segera sampai, melaju menembus malam yang semakin gelap. Kecepatan motornya semakin tinggi, suara mesin berderu keras, seakan ingin menandingi kegelisahan yang ada di dalam dirinya. Jalan raya yang membentang panjang seolah tak pernah berakhir.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, Hiro akhirnya tiba di rumah sakit. Sebuah rumah sakit mewah yang berdiri kokoh. Ia melesat masuk ke area parkir dan tanpa menunggu lebih lama, langsung berlari ke dalam gedung. Kakinya yang lelah tidak bisa menghentikan langkahnya, apalagi kini pikirannya hanya tertuju pada satu, sang papa.

Dari lobi rumah sakit Hiro langsung menuju lift dengan cepat. Semakin keras setiap langkahnya menuju ruangan rawat inap papa. Ketika pintu lift terbuka, ia melangkah keluar dengan ragu, namun tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bergegas ke kamar yang dimaksud.

Di depan pintu kamar, Hiro mengatur napasnya yang tersengal. Jantungnya berdetak keras, dan sejenak ia menutup matanya, berusaha menenangkan diri. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka pintu dan perlahan melihat suasana di dalam. Di sana, di atas ranjang rumah sakit, terbaring papanya. Meski tubuhnya lemah, Hiro bisa melihat bahwa keadaan ayahnya tidak seburuk yang dibayangkan. Hanya sebuah selang infus yang terpasang di tangan kanannya.

Di samping brankar, sang mama duduk di sana menatap Hiro dengan pandangan yang penuh harap. Hiro menghela napas lega, ia bisa melihat bahwa kedua orang tuanya masih cukup baik.

"Papa..." Hiro berbisik, langkahnya semakin mendekat pada kedua orang tuanya.

Ayahnya yang terbaring lemah memandangnya, terkejut namun tersenyum kecil. "Hiro? Kamu pulang?"

Hiro tercekat. Suara lembut papanya membuatnya merasa lebih cemas, namun ia menelan ludahnya sendiri, berusaha mengendalikan dirinya. Setelah berbulan-bulan menjauh dari keluarga, ia merasa berat untuk menghadapinya sekarang.

"Maafkan saya, Ma, Pa," kata Hiro, dengan suara penuh penyesalan.

Meskipun sering membangkang, Hiro selalu berbicara dengan sangat formal kepada orang tuanya. Itu berbeda jauh dari cara dia berbicara dengan teman-temannya di luar.

Sang mama bangkit dari kursi, berjalan menghampiri Hiro dan tanpa ragu memeluk anak laki-lakinya begitu erat. "Mama juga minta maaf, Hiro. Selama ini mama tidak pernah ada untuk kamu, tidak memberikan perhatian yang seharusnya. Mama merasa gagal menjadi orangtua untuk kamu," katanya terdengar lirih.

Kata-kata itu menghujam Hiro. Ini adalah pertama kalinya mereka berbicara dengan tulus seperti ini. Hubungan mereka yang jarang sekali terjalin baik membuat Hiro tumbuh menjadi anak yang sering memberontak.

"Papa juga minta maaf," suara papanya terdengar lembut, membuat mereka bertiga terdiam sejenak. Mama melepaskan pelukan dan Hiro berjalan mendekati papanya.

"Papa hanya terlalu tinggi menaruh ekspektasi terhadap kamu tanpa menemani proses kamu," lanjut ayahnya dengan wajah penuh penyesalan.

Hiro menunduk, perasaan bersalah semakin menyesak. "Saya tidak akan pergi kalau kalian tidak menekan saya seperti itu. Saya minta maaf karena selama ini saya tidak bisa memenuhi ekspektasi papa, justru membuat mama dan papa kecewa terhadap saya. Saya akui memang nakal dan pembangkang, namun itu semua hanya pelampiasan untuk bertahan hidup di tengah tekanan kalian."

Papanya hendak berkata sesuatu, namun Hiro dengan cepat memotongnya. "Saya ingin pulang ke rumah, tinggal bersama mama dan papa. Tapi saya mohon, terima saya apa adanya. Saya janji akan menjadi lebih baik, meskipun perlahan. Saya tidak bisa berubah secepat itu, saya butuh waktu dan pengertian dari kalian. Setelah itu, saya janji akan mengikuti kata papa."

Papanya tersenyum kecil, menyadari bahwa perubahan Hiro bukanlah hal yang bisa dipaksakan. "Hiro, papa tidak meminta kamu untuk mengikuti kata papa. Yang terpenting sekarang adalah kamu menjadi pribadi yang lebih baik. Papa sekarang sadar, menekan kamu hanya akan membuat hubungan kita semakin jauh."

Hiro menatap kedua orang tuanya, perasaan haru dan lega bercampur. "Terima kasih, Pa, Ma."

Mamanya menatapnya khawatir. "Hiro, selama ini kamu baik-baik saja, kan?"

Hiro mengangguk, meskipun sebenarnya ada banyak hal yang tidak diceritakannya. "Saya baik-baik saja, Ma."

"Mama tahu, pasti berat bekerja paruh waktu?" tanya sang mama lagi.

Hiro terkejut. "Mama tahu?"

Papanya yang ada di sebelah mamanya menjelaskan, "Papa tidak akan membiarkan kamu begitu saja, Hiro. Papa meminta bantuan orang lain untuk mengawasi kamu dari jauh, tanpa mengganggu privasimu."

Hiro terdiam sejenak.

"Lalu, siapa perempuan yang sering kamu antar jemput itu?" tanya sang mama, membuat Hiro sedikit membelalakkan matanya.

"Wonika, tapi dia bukan 'Wonika'. Saya juga belum tahu jelas," jawabnya, dengan raut wajah yang cemas.

Mama mengerutkan kening, tampak bingung. "Lalu?"

Hiro mengalihkan pembicaraan, mencoba menghindari topik itu untuk saat ini. "Bukan saatnya membicarakan Wonika, Ma."

Ibunya hanya tersenyum kecil dan menepuk-nepuk pundaknya. "Baik, kalau begitu mama akan bertanya lagi nanti tentangnya."

"Lebih baik mama pulang dulu, istirahat di rumah biar saya yang jaga papa. Saya tidak mau mama kecapean," kata Hiro.

"Tidak pe-"

"Ma..." Hiro memohon dengan tatapan penuh harap.

Mama menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya, sayang."

𝄃𝄃𝄂𝄂𝄀𝄁𝄃𝄂𝄂𝄃 to be continued 𝄃𝄃𝄂𝄂𝄀𝄁𝄃𝄂𝄂𝄃

Open request!

Guys beberapa part lagi kan ending, sebelum itu kalian mau liat moment apa? atau moment siapa dengan siapa?

THREAD OF DESTINY | 04 LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang