Chapter 4

3.9K 228 1
                                    

Sudah seminggu aku menghindari Radit, sebenarnya bukan hanya aku saja yang bertingkah seperti itu tapi dia juga. Sehari setelah kejadian aku pingsan, banyak anak perempuan yang memintaku untuk jauh2 dengan Radit. Kalo kata Casey sih mereka itu fans2 Radit yang tak terbalaskan, saat mendengar perkataan Casey waktu itu aku tertawa dengan lepas. Itu adalah pertama kalinya aku tertawa setelah kedatanganku kesini. Setelah kejadian itu juga aku tiba2 menjadi terkenal di sekolah ini, banyak coklat dan bunga yang sengaja diletakkan di kolong mejaku bahkan banyak juga surat2 yang diselipkan dilokerku. Nathan juga dititipkan banyak kue untukku yang pasti selalu berakhir diperutnya, tapi bukan hanya aku saja yang menjadi terkenal setelah kejadian itu- Nathan juga. Satu sekolah sudah mengetahui bahwa kami berdua kembar dan Nathan juga sepertiku nasibnya, mendapatkan coklat dan kue di mejanya yang pasti selalu dimakan teman2nya.

Aku dan Casey sedang berada di cafetaria, berbicara mengenai macam2 hal yang menyenangkan bagi kami. Aku melihat sosok yang sangat familiar diingatanku, dia berjalan kearahku sambil membawakan dua baki penuh makanan.

"Kau harus makan ini."Katanya tanpa sapaan sedikitpun.

"Haruskah itu? Sepertinya tidak." Balasku takmau kalah jutek olehnya.

"Tentu, bukankah udah gue bilang jangan buat gue khawatir? Muka lo pucet Tan." Perkataanya itu seperti membuatku tersadar oleh sikapnya seminggu yang lalu, aku terdiam tidak berniat membalas perkataannya.

"Nathan yang minta gue maksa lo makan, katanya tadi pagi lo ga makan." Aku kecewa mendengar perkataannya, sebenernya aku berharap dia melakukan ini atas kemauannya sendiri. Ah aku ini sebenarnya kenapa sih, kenapa juga mesti repot2 kecewa. Aku beranjak dari kursi meninggalkan Radit ditempatnya, bahkan aku benar2 lupa masih ada Casey yang duduk diam menyaksikan kejadian tadi. Tapi masa bodo amat deh, aku sudah ga peduli dengan apapun hari ini, moodku sudah dirusak oleh makhluk menyebalkan kedua setelah Nathan.

Langkahku membawa tubuhku ke arah lain, sepertinya dia tidak mau kupaksakan menuju ke kelas. Aku menekan lantai 5, lift bergerak perlahan sesuai kemauanku. Pintu lift terbuka dan aku melangkah keluar menuju sebuah tangga, tangga itu mengarah ke atap sekolah. Aku memutuskan menghabiskan sisa pelajaran di tempat ini, mungkin aku butuh waktu untuk menenangkan diri.

Tempat ini sangat nyaman dan aku baru mengetahui ada tempat seperti ini disekolah, aku berbaring melihat langit yang dipenuhi awan yang cukup indah. Tiba2 ada seseorang duduk disebelahku yang cukup membuatku bingung, kapan dia masuk dan kenapa aku tidak mengetahuinya.

"Tempat ini indah kan? Baru pertama kali kesini?" Dia ikut berbaring disebelahku.

"Ya begitulah."

"Kenapa bisa kesini?"

"Gatau, ngikutin kata hati aja."

"Ich bin Andrew, Andrew Hutcherson."

(Aku Andrew)

Sungguh aku terkejut mendengar perkataannya, aku melihat kearahnya yang sedang melihatku. Tiba2 saja dia tersenyum, entah apa arti dari senyumannya.

"Apa aku salah dalam pengucapannya?" Melihat tampangnya yang kini begitu bingung mengakibatkan tawaku meledak, bukannya jawaban dari pertanyaannya. Andrew seperti tidak masalah dengan tawaku, justru dia juga ikut tertawa bersamaku. Hari itu kuhabiskan bersamanya diatas atap dengan berbagai banyak cerita.

*

Aku sangat amat menyesal tidak memberitahu hal tadi kepada Nathan, sebenarnya kalau saja dia tidak mencariku aku tidak akan memusingkannya. Tapi dari jam istirahat habis sampai pulang sekolah dia terus mencariku ke seluruh penjuru sekolah, mencoba menghubungiku yang tidak mendapatkan respon apapun dariku. Sebenarnya itu semua juga bukan kemauanku, bb dan iPhoneku ada didalam tas jadi aku juga tidak tau harus memberi kabar bagaimana. 

Tadi saat bel pulang sekolah berbunyi aku turun bersama Andrew dari atap, aku melangkah kekelas tanpa beban sama sekali. Tapi pemandangan begitu berbeda ketika aku sampai diruang kelas, disana ada Nathan dan Radit yang menatapku dengan cara yang berbeda. Radit menatapku dengan pandangan yg entahlah sulit untuk kuartikan sedangkan Nathan menatapku tajam, sepertinya dia benar2 marah denganku. Sampai dirumah pun kami tidak berbicara sama sekali, aku mencoba untuk kekamarnya setelah mandi dan berganti pakaian.

Sekali- 

Dua kali- 

Tiga kali-  

Aku terus mengetuk pintunya dengan sabar, tapi tetap saja tidak ada respon dari dalam. Tidak dikunci. Itulah hal yang kutahu saat pertama mencoba membuka pintu kamarnya, aku melangkah masuk dan melihat Nathan sedang tertidur pulas. Kudekatkan diriku kearahnya, pemandangan pertama yang kulihat membuatku meneteskan air mata. Nathan tertidur dengan pipi yang masih terdapat sisa bulir air matanya, dengan pelan kurapikan rambutnya yang berantakan. Hal itu membuatnya terbangun dan menatap lurus kearahku, tangannya menyentuh pipiku dan dia mulai mengusap air mataku yang jatuh. 

"Kenapa kamu nangis dik?" Tanyanya lembut dengan suara khas bagun tidur. 

"Maafkan aku kak, aku berjanji tidak akan membuatmu sedih seperti ini lagi." Aku memeluknya erat, entah sudah berapa lama aku tidak merasakan sedekat ini dengannya padahal dia kembaranku sendiri. Terkadang aku memang membencinya, tapi sungguh jauh di dalam hatiku aku sangat menyayanginya.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang