Chapter 9

2.7K 169 0
                                    

Haihai sebelumnya mau makasih banget buat yang udah ngevote dan comment :) mau ngasih tau aja nih mungkin part setelah ini bakal lama aku uploadnya soalnya lagi ga mood hehe-_- tapi kalau yang ngevote dan comment banyak pasti langsung aku lanjutin kok, soalnya cuman para readers yang bisa bikin aku semangat haha. Sekali lagi terimakasiihh, salam sayang Ali :*

**

Radit tidak berani menjenguk Kinthan lagi jika saja bukan Nathan yang meminta untuk menemuinya, kejadian bodoh itu terus menghantui Radit seperti mengingatkannya akan kesalahan yang sangat besar. Radit memperhatikan Kinthan dari sudut matanya, dia terlihat gelisah semenjak kedatangan kedua orangtuanya. Nathan menjelaskan apa yang dialami Kinthan tanpa ada yang berusaha dia tutupi, sedangkan Kinthan seperti tidak percaya bahwa dirinya mengalami amnesia sebagian saat kelas 2 SMP, itulah alasannya kenapa Kinthan dibawa pulang ke Jerman. Itu juga alasan kenapa Kinthan tidak bisa mengingat satupun memori ketika dia dulu berada di Indonesia, tidak Lulu dan tidak juga cinta pertama Kinthan. Gadis itu menatap Lulu sebelum mengeluarkan sebuah pertanyaan.

"Jadi dulu kita berteman?" Pertanyaannya dijawab dengan satu anggukan dari Lulu, Kinthan tersenyum melihat respon Lulu.

"Maafkan aku Lu karena tidak bisa mengingat dirimu."

"Itu juga bukan kemauan Kak Kinthan kan."

"Aku akan berusaha kok buat mengingat semuanya."

Sebuah gelengan berasal dari kepala Nathan dan kedua orangtuanya, mereka seperti mengatakan jangan memaksakan diri karena itu tidak baik untuk otakmu. Kemudian mata Kinthan menatap ke mata hazel itu, mata yang dapat meluluhkan pertahanan Kinthan.

"Apa kita dulu juga berteman Dit?"  Mata Kinthan menatap Radit dengan penuh harap.

"Maaf Kin mengecewakanmu, tapi kita tidak saling mengenal dulu." Memang bagi Kinthan jawaban Radit sangat amat mengecewakan, berarti selama ini mimpi yang terus menghantuinya sama sekali tidak berhubungan dengan Radit. 

*

Hari ini aku sudah dibolehkan pulang kerumah, tentu saja sangat membahagiakan tapi sekaligus menakutkan karena kini bunda dan ayah ada bersamaku. Hal yang paling menakutkan adalah jika mereka beredua memintaku dan Nathan untuk kembali ke Jerman, tentu saja aku tidak mau apalagi jika aku harus membayangkan bertemu manusia yang dengan sengaja kuhindari itu. 

"Andrew? Kok ada disini?" Mataku terpaku ketika melihat Andrew sedang duduk di sofa yang berada diruang tamu rumahku.

Andrew tidak menjawab pertanyaanku, dia langsung berjalan mendekatiku dan memelukku dengan erat. "Yatuhan Kinthan kemana aja sih kamu? Dihubungin gapernah bisa, aku khawatir mikirin kabar kamu yang tiba-tiba ilang gitu aja."

Cukup mengejutkan mendengar perkataan dari Andrew, dia sama sekali tidak mengetahui keberadaanku selama ini mungkin karena memang dengan sengaja Nathan dan Radit merahasiakannya dari sekolah.

"Maaf Drew, aku baru pulang dari rumah sakit."

"Kamu sakit? Sakit apa Tan?"

"Gapapa, cuman anemia kok sekarang udah sehat." 

Andrew melepaskan pelukannya, bodohnya aku saat itu yang baru menyadari bahwa kedua orangtuaku beserta Nathan dan Radit menyaksikan kejadian tersebut. Aku melihat kedua orangtuaku yang hanya tersenyum maklum melihat Andrew sedangkan Nathan dan Radit melihat Andrew dengan cara yang sama, mereka seperti menatap Andrew dengan ketidaksukaan yang terpancar jelas dari mata mereka. 

Aku berdehem dengan sengaja sehingga dua makhluk overprotektif itu mengalihkan pandangannya dari Andrew. "Bunda, Ayah kenalin ini temen satu sekolah aku namanya Andrew. Drew kenalin ini orangtuaku." Andrew tersenyum dengan sangat sopan kearah kedua orangtuaku, Bunda melirikku dengan tatapannya yang seperti sedang menggodaku.

"Nak Andrew, makan siang bareng yuk." Itu adalah ajakan dari bunda yang tentu saja membuat tiga pasang mata melebar deperti kaget dengan perkataan bunda, mata itu milik Nathan Radit dan tentu saja aku. 

"Baik Tante." Kemudian bunda masuk diikuti oleh ayah yang dari tatapannya juga meminta agar Nathan mengikutinya. Nathan dengan tidak rela pergi dari tempat itu dan meninggalkan Radit yang masih berdiri menatap Andrew dengan tajam. Aku mendengus pelan dan menarik tangan Andrew agar menikutiku, meninggalkan Radit yang menatap punggung kami yang pergi menjauh.

"Brengsek!" tanpa sepengetahuan Kinthan, Radit mengumpat dengan pelan. Tangannya terkepal seperti sedang menahan amarahnya., Radit pergi berjalan keluar rumah itu. Dia mengambil handphonenya dan mulai mengetikkan sebuah pesan.

To: Nathan

Gue pulang duluan Nat, omongan yang tadi kita lanjutin kapan-kapan aja.

Radit tidak berniat kembali kerumahnya, dia pergi kesuatu tempat. Tempat yang membawa kenangan baginya, kenangan yang sangat tidak bisa dilupakan oleh Radit sampai saat ini.

"Gue janji bakal nemuin barang itu."

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang