Chapter 14

4K 168 30
                                    

Halo semuanyaaa, sebelumnya mau minta maaf banget nih karna baru muncul dan update ceritanyaa hehehe. Sebenernya awalnya aku udh males bgt buat ngelanjutin ini karna gatau mau dibawa kemana ceritanya, tp pas lg iseng buka wattpad ternyata masih ada yg ngebaca ceritaku dan nungguin kelanjutannya. Karna aku gaenak dan gamau ngephpin para readers jadi beginilah aku lgsng ngebut buat lanjutin part ini. Makasiihh bnyk buat yg udh ngevote dan comment, aku bakal usaha buat lanjutin ini trs ditengah kesibukan kuliahku yg baru mulai hihi. i love you guys!

**

Aku menekuk tubuhku malas di kursi mobil milik Radit, bagaimana tidak malas lihat saja sekarang langit masih gelap dan matahari pun belum bangun dari kasurnya. Aku mengamati lekuk wajah Radit yang terlihat tampan walaupun dapat kulihat dengan samar warna hitam di kantong mata miliknya.

"Dit mau kemana?" yang diajak bicara hanya memandang lurus kedepan tanpa menanggapi diriku.

"Radit!"

"duh bawel banget sih Tan, udah tidur aja nanti gue bangunin kok kalo udah sampe."

"Kenapa sih kok kakak bisa ngizinin lo ngebawa gue pagi-pagi buta kayak gini."

"dumel mulu sih."

"bodo ah." aku mengalihkan pandanganku keluar jendela dan berusaha untuk tidur.

"bangun putri tidur." aku merasakan tubuhku diguncang, mataku mengerjap-ngerjap menyesuaikan dengan minimnya cahaya yang ada.

"udah sampe Dit?" yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya kemudian beranjak keluar meninggalkanku yang masih mengumpulkan nyawa. Aku pun mengedarkan mataku keluar lewat jendela, masih tidak mengerti kenapa Radit membawaku ke tempat seperti ini akhirnya akupun keluar menuju Radit yang sedang duduk menungguku di kap mobilnya.

"jadi kenapa bawa gue kesini Dit?" Radit tetap memandang ke depan menanggapi pertanyaanku, tapi aku dapat melihat senyumnya yang tersungging walaupun hanya sebentar.

"liat matahari terbit Tan." aku melongo parah mendengar jawabannya, yaampun apa sih yang ada diotak anak ini? Kenapa melihat matahari terbit harus jauh-jauh kesini sih, tapi aku tidak menanggapi jawabannya dan terus terdiam bergumul dengan pikiranku sendiri.

Cahaya matahari mulai terlihat, saat itupun aku baru bisa benar-benar menyadari pemandangan sekelilingku. Indah adalah kata pertama yang muncul dipikiranku, aku pun tidak berkedip sama sekali melihat pemandangan yang terhampar, mataku berbinar senang melihatnya. Radit sibuk memandangiku saat aku sedang sibuk memandangi semburat warna oranye yang muncul sedikit demi sedikit. Saat matahari mulai muncul dengan sempurna aku berpaling dan menatap wajah Radit yang baru kusadari sedang menatapku juga. Semburat merah muncul dipipiku ketika melihat dirinya menatapku dengan tatapan yang sangat dalam seolah ingin berbagi cerita dari tatapannya itu. Pandangan matanya kini beralih ke bibirku dan Radit mendekatkan bibirnya kemudian mengecupku dengan pelan dan sangat lama. Ketika dia menjauhi bibinya dari bibirku dia tersenyum dan menempelkan dahinya ke dahiku.

"seneng sama apa yang kamu lihat?" aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan dan senyumnya kini semakin lebar.

"makanya tadi tuh jangan ngomel-ngomel doang bisanya." kemudian Radit menjauhkan dahinya dan menyentil hidungku pelan sambil tertawa senang. Aku melihat kelakuannya hanya dapat memajukan bibirku pura-pura cemberut dan marah dengannya.

"kenapa tuh bibir dimajuin? mau dicium lagi ya?" Radit tertawa keras ketika godaannya membuat pipiku merah, dasar memang pipi sialan berani-beraninya berkhianat denganku.

"otak mesum dasar." aku pergi menjauhinya dan berjalan dijalan setapak yang ada dihadapan kami. Tempat Radit membawaku sangat indah, terdapat sungai yang airnya mengalir dengan jernih dan masih banyak pepohonan disini. Aku berhenti didepan sungai tersebut dan duduk disitu, tanganku kumasukan ke dalam air untuk merasakan kesegaran air tersebut. Mataku kembali menjelajahi tempat ini dan mataku terpaku disatu tempat, hamparan bunga tersaji didepanku dengan indahnya. Aku bangun dan melangkahkan kakiku ke padang bunga itu, kemudian merebahkan seluruh tubuhku diantara bunga-bunga yang terhampar. Radit ternyata mengikutiku dan dia ikut berbaring disebelahku. Matanya menerawang seperti sedang berfikir dengan keras, cukup lama kami berbaring tanpa suara yang terdengar. Aku memerhatikan Radit dan kini baru menyadari dia memegang sebuah peti kecil ditangannya.

"udah puas ngeliatinnya belum?" Radit menolehkan wajahnya kearahku dan dengan cepat aku membuang mukaku dan mendengus kencang. Radit bangun dan kini dia sedang duduk bersila sambil menghadapku, aku melakukan hal yang sama karna sepertinya Radit ingin berbicara kepadaku. Lama kami terdiam di posisi ini lalu Radit memberikan peti kecil yang ada ditangannya itu kepadaku.

"ini apa Dit?"

"coba aja dibuka." akupun menurut dan membuka peti tersebut, didalamnya terdapat dua buah gelang, dua buah kertas dan dua foto. Aku mengambil foto tersebut dan mengamatinya, disana terdapat wajahku saat aku masih berada disekolah dasar. Aku mengetahuinya karna gadis yang ada difoto tersebut memakai seragam putih merah, disebelah wajahku terdapat anak laki-laki yang kemungkinannya seumuran denganku, anak itu sama dengan yang ada didalam mimpiku. Foto kedua terdapat diriku lagi dan anak laki-laki itu, kita berdua memakai seragam putih biru dan pose difoto tersebut aku tersenyum lebar ke arah kamera sedangkan anak itu memandangku sambil tersenyum, dibalik foto tersebut terdapat tulisan MK yang ditulis tangan dengan tinta pulpen berwarna biru. Aku meletakkan foto itu ke dalam kotak dan mengambil dua buah gelang, gelang itu terpatri sebuah nama di masing-masing gelang. Gelang tersebut masing-masing berwarna coklat dan ungu yang terbuat dari besi, di gelang yang berwarna coklat terdapat nama Kiki di belakangnya sedangkan yang berwarna ungu terdapat nama Mika. Radit terus memperhatikanku yang masih sibuk meletakkan gelang dan mengambil dua kertas yang terdapat didalam peti.

"kertasnya dibaca nanti aja kalo udah dirumah."

"kenapa?" Aku bertanya bingung, padahal tadi dia yang memintaku untuk melihat sekarang dan kini dia memintaku untuk melihatnya nanti.

"lebih bagus kalo liatnya pas lagi sendiri." Aku menurut dan meletakkan kertas itu kedalam peti dan menutupnya kembali.

"itu yang ada difoto siapa? kamu Dit?"

"iya, itu gue."

"waktu aku dirumah sakit katanya kamu gakenal aku sebelum ini."

"kalo pas itu gue bilang kita saling kenal pasti lo bakal coba ngegali ingetan dulu, gue itu siapa, kita kenal sejak kapan, gue sedeket apa sama lo, dan itu cuma ngebebanin pikiran lo. Gue cuma nunggu lo siap dan gue juga nyari peti ini buat ada bukti biar lo ga banyak nanya dan gabanyak mikir yang macem-macem." Aku terdiam mencerna kata-kata yang diucapkan Radit, Radit bangun dari duduknya dan mengulurkan tangannya kearahku.

"udah gausah dipikirin, balik yuk gue laper." Aku mengangguk dan meraih tangannya, Radit terus menggenggam tanganku sampai kita berada di mobil.

- - - - - - - -

Aku terus menggenggam tangan Kinthan walaupun kini aku sedang menyetir tapi satu tanganku tidak kulepaskan, masa bodo sama apa yang bakal Kinthan pikirin yang pasti sedikit lega perasaanku karna udah sedikit jujur dengannya. Aku memarkirkan mobil ini di sebuah tempat makan yang dulunya sering aku kunjungi berdua dengan Kinthan.

"seafood!" matanya berbinar cerah ketika melihat tempat dimana kami akan makan. Kami turun dan duduk didekat patung ikan. Setelah memesan makanan kami menunggunya dalam diam, wanita dihadapanku kini sedang sibuk didunianya sendiri, sedangkan aku sibuk menatap mata ametyhstnya yang selalu membuatku terpesona dan tenggelam didalamnya. Pelayan mengantarkan makanan dan kamipun memulai makan dalam diam.

"huaaa enak banget Dit, kok bisa tau sih restoran seenak ini? kapan-kapan harus kesini lagi aja kak Nathan, Andrew, Casey jugaa." Aku mendengus pelan mendengar dia menyebutkan nama Andrew didepanku.

"bawel ah, udah abisin aja makanannya gausah berisik." Kinthan menggembungkan pipinya dan memajukan bibirnya, itu membuatnya semakin imut kalau kau mau tau

"lo kok nyebelin bang-" kata-kata Kinthan terhenti, raut wajahnya berubah menjadi takut dan matanya membesar. Aku mengikuti arah pandangnya dan terdiam ketika melihat apa yang dipandang Kinthan. Sedangkan orang yang kami pandang sepertinya menyadari dan mengarahkan matanya ke Kinthan kemudian tersenyum, orang itu melangkahkan kakinya mendekat ke meja kami. Tiba-tiba tangan Kinthan memegang tanganku seperti meminta pertolongan, tapi terlambat sebelum kami melangkah pergi orang itu sudah dihadapan Kinthan sambil terus menyunggingkan senyumnya yang entah mengapa memuakkan.

"hai Andra, kita ketemu lagi mungkin emang kita jodoh."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang