PART 2: AFTER TWENTY YEARS

4.1K 151 0
                                    

Dua puluh tahun kemudian...
"Tiaraaa!!" teriakku, "kamu ini bisa dibilangin nggak sih??"
"Aduh, apa'an sih, Ma??" Tiara, anakku yang berusia 18 tahun muncul dari pintu kamarnya, masih memakai headset yang suara musiknya sampai ke telinga orang-orang di sekitarnya, saking kerasnya.
"Lepas dulu tuh earphone!" bentakku, "kamu ini udah 18 tahun, masih aja kayak anak kecil! Cepet beresin kamar! PR kamu jangan lupa!"
"Aduh, mama ini cerewet banget sih! Udah ah, aku mau makan pizza dulu sama temen-temenku! Daah!" dengan cuek dia ngeloyor pergi sambil menenteng tas laptop dan handphone menggantung di lehernya.
"Papa, anakmu bener-bener buat pusing!" ujarku sebal.
"Kan dia anakmu juga," ujar Mas Kris sambil senyum-senyum, "masa Cuma anakku, kan buatnya berdua?"
Aku mendengus kesal. Mas Kris selalu sulit mengerti pergumulanku. Apa boleh buat? Aku harus menerima dia apa adanya. Maklum, sejak kepergian Andre, aku sulit menemukan penggantinya. Mas Kris adalah satu-satunya pria yang setidaknya mampu membuatku tertarik setelah dua tahun aku menjadi cewek yang anti-cowok. Tetap saja, Andre masih merupakan yang terbaik. Namun apa daya, ia sudah pergi.
"Udahlah, nyantai aja," ujar Mas Kris lagi. Aku sulit menerima sifat Mas Kris yang terlalu santai. Seperti kurang bertanggung jawab. Namun aku selalu berusaha sabar menghadapinya. Paling tidak, aku sudah punya Tiara. Tiara adalah anak kami satu-satunya. Agak manja dan nakal memang. Namun bagaimanapun, dialah yang membuatku bertahan untuk hidup sekarang ini.

Beberapa jam kemudian...
"Mamaaa! Maaa!!" suara Tiara yang sopran melengking memenuhi rumah kami. Dengan kesal aku keluar dari kamar dan menemukan Tiara sedang mesam-mesem di depan pintu kamarku.
"Ngapain kamu?" tanyaku heran, "senyum-senyum aneh gitu?"
"Ma, ikut aku deh... Aku mau kenalin mama sama papa dengan temenku..." ujarnya manis. Tumben sekali Tiara bersikap manis... Jangan-jangan... Aku mengikuti Tiara ke ruang tamu. Penasaran.
"Kenalin, Ma, ini temenku," ujarnya sambil menunjuk seorang cowok. Aku terpekur. Cowok itu tampan dan wajahnya imut. Ia tersenyum ke arahku. Senyum yang tidak asing... Ia kemudian mengulurkan tangannya kepadaku.

"Reza," ujarnya ramah. Aku merasa sungguh tidak asing dengan pria ini. Memang tampak lebih muda dan wajahnya lebih segar. Namun... senyum itu... gaya bicara itu... Semuanya dari Reza seperti mengingatkanku kepada... Andre. Jantungku langsung bedegup kencang. Aku cepat-cepat pergi ke dapur, pura-pura menyiapkan minuman. Namun beberapa saat kemudian, Tiara sudah berdiri di sebelahku, tepat ketika aku sedang melamun di depan kulkas.
"Ma, mama kok bengong sih? Gimana Ma?" Tanya Tiara.
"Gimana apanya?" tanyaku heran, sambil berusaha mengalihkan perhatian dari pikiranku.
"Mama setuju nggak, aku sama Reza?"
"Ka... kamu? Sama Reza??" tanyaku tak percaya.
"Iya, kami udah pacaran. Kami mau cepet-cepet tunangan!"
"Pikir dulu yang baik," nasihatku. Mungkin pikiranku sudah menipuku, pikirku. Cowok itu, Reza, hanya sedikit mirip dengan Andre. Tapi ia bukan Andre.
"Ah, mama! Pokoknya Tiara mau!!! Titik!"
"Udahlah, nanti aja baru diputusin. Yang jelas mama mau tahu dulu Reza itu siapa dan kayak gimana," putusku. Lumayan bijak menurutku. Namun ketika aku kembali ke ruang tamu untuk membawa minuman, jantungku kembali berdegup kencang. Sepertinya ada sesuatu yang tidak asing dalam diri Reza yang membuatku langsung gugup dan berdebar-debar. Aneh, pikirku, umur Reza bahkan kurang dari setengah umurku... Tapi perasaan ini...

REINKARNASI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang