Mimpi yang Panjang

177 26 3
                                    

     "Natasha, ini Ryan. Dia akan menemanimu 'bermain' mulai sekarang." Aku memaksakan diri untuk mengangguk. Ku lirik anak laki-laki di samping papa dengan kepala masih sedikit tertunduk. Anak laki-laki itu terlihat seperti orang Barat. Kulitnya pucat, warna rambutnya coklat terang dan sedikit berkilau, matanya berwarna hijau muda dan sepertinya senyum selalu terukir di wajahnya.

"Hi princess, I'm Ryan. (Hai Tuan Putri, aku Ryan.)" Ryan mendekatiku dan mengulurkan tangannya. Wajahnya menampakkan senyum lebar yang menurutku sangat aneh. Apa ada yang lucu? Kenapa dia selalu tersenyum?

"I-I'm Natasha... (A-aku Natasha...)" Aku mengalihkan pandangan mataku, mengacuhkan uluran tangannya dan membekap kedua tanganku di dada. Setelah beberapa saat menatapku dengan wajah kecewa, Ryan menarik uluran tangannya.

Tiba-tiba waktu seakan berjalan begitu cepat, lalu melambat dan ku lihat diriku yang berumur enam tahun sedang menangis di tempat persembunyianku...

"Huuu.... Shasha tidak mau di suntik lagi... Kenapa papa jahat pada Shasha...? Apa salah Shasha...? Apa papa menyalahkan Shasha karena Cyan tidak kembali...?"

Aku ingat... Sudah setahun sejak papa membawa Cyan pergi dan hanya kembali seorang diri... Sejak itu papa mulai menyuntikkan cairan-cairan aneh yang membuat tubuhku terasa seperti diremukkan berkali-kali. Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang ditimbulkan cairan-cairan aneh itu semakin memburuk... Membuatku berpikir lebih baik mati daripada harus menderita seperti ini...

Tuk! Tuk!

Aku terkesiap dan berhenti menangis.

"Don't be scared, it's me. (Jangan takut, ini aku.)" Ryan berbisik dari balik lapisan kayu tempatku bersembunyi. Aku tidak bersuara dan menahan suara isakanku. Bagaimana dia bisa tahu tempat persembunyianku? Seharusnya hanya aku dan Cyan yang tahu... "Princess, I know you are there. Please open it. (Tuan Putri, aku tau kau di sana. Aku mohon buka benda ini.)"

"Go away... (Pergi...)" Jawabku dengan suara bergetar setelah beberapa saat berpikir. Aku memeluk lututku erat dan membenamkan wajahku di sana. Mulai menangis lagi tanpa peduli Ryan akan mendengarku atau tidak.

"Please, open it... (Aku mohon, bukalah...)" Suaranya terdengar sedih dan memohon. Tapi aku tidak bisa mempercayainya. Dia hanya akan menyakitiku seperti papa...

"I SAID GO AWAY! (AKU BILANG PERGI!)" Aku mempererat pelukan di lututku dan membenamkan kepalaku semakin dalam. Aku berada dalam posisi itu selama beberapa menit. Dan ku rasa Ryan sudah pergi meninggalkan tempat persembunyianku. Perlahan aku menggeser lapisan kayu di depanku dan ternyata Ryan masih berada di sana. Aku menjerit kaget dan menggeser lapisan kayu itu untuk menutupnya, tapi tangan Ryan mengganjal lapisan kayu itu. Ia mengaduh karena terjepit tanpa melepaskan tangannya. Lalu menggeser lapisan kayu itu hingga terbuka maksimal. Ryan duduk di depanku, mata hijaunya menatapku lekat-lekat. Aku mundur hingga punggungku menabrak dinding.

"Princess? Are you okay? (Tuan Putri? Apa kau baik-baik saja?)" Tanyanya dengan nada khawatir. Tangannya mencoba untuk menggapaiku, tapi berhenti begitu aku berteriak.

"DON'T TOUCH ME! (JANGAN MENYENTUHKU!)" Aku membuat pertahanan dengan kedua tanganku. Tubuhku bergetar ketakutan.

"Pri- (Tu-)"

"Please... Don't touch me papa... It's hurt... It's hurt so much... (Aku mohon... Jangan menyentuhku papa... Sakit... Sangat sakit...)" Rengekku memotong perkataannya.

"Don't cry, princess. I'll always here. (Jangan menangis, Tuan Putri. Aku akan selalu ada di sini.)" Ryan memelukku dan aku membiarkannya. Aku takut untuk percaya pada orang lain. Aku takut jika aku mempercayai seseorang, orang itu akan menyakitiku seperti papa. Papa, orang yang selama ini menghidupi dan melindungiku saja bisa menyakitku. Apalagi orang lain? Tapi aku butuh seseorang untuk menjadi tempatku berteduh. Aku butuh orang untuk menopangkku...

Black WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang