Serpihan Kedua

126 21 2
                                    

Dua minggu sudah berlalu sejak ingatanku kembali. Tapi mimpi itu tidak berhenti... Setiap hari mimpi itu terus terulang. Tentang hari-hariku bersama Cyan... Tentang suntikan-suntikan menyakitkan dari Papa... Tentang Mama yang bersimbah darah dipelukanku... dan tentang Ryan, yang menghianatiku... Seakan memaksaku untuk tidak melupakan masa lalu yang menyakitkan.

Setiap hari aku berusaha menghubungi Papa, tapi yang ku dengar hanya asisten Papa yang menjelaskan bahwa Papa sedang sibuk. Aku merasa laki-laki itu tahu kalau ingatanku kembali... Atau mungkin Ia sudah merencanakannya...

Aku masuk ke dalam rumah sakit dengan kemeja putih, oversize sweater berwarna coklat muda, jeans abu-abu, boots berwarna senada dengan sweaterku dan gips yang masih terpasang di tangan kananku. Kakiku melangkah ke ruang praktek Dr. Erwin dan mendapati Ia sedang mengisi informasi tentang pasien sebelumnya.

"Seharusnya kau datang ke sini kemarin Natasha." Ucapnya masih terfokus dengan kertas di tangannya. Aku mendengus dan duduk di ranjang yang biasa digunakan untuk memeriksa pasien.

"Periksa saja tanganku dan katakan kalau aku sudah sembuh." Kataku sambil menyodorkan tangan kananku yang bergips. Dr. Erwin melirik sambil menaikkan alisnya. Sambil menggerutu, Ia membuka gips ditanganku dan memeriksanya. Aku bisa melihat tanganku yang sudah tidak bengkak dan tidak ada warna biru atau ungu kehitaman di kulitku. Beberapa menit kemudian seorang suster datang sambil membawa foto rontgenku.

"Ini tidak mungkin..." Gumam Dokter Erwin setelah matanya terbelalak melihat foto rontgen ditangannya. Membuatku penasaran sekaligus takut kalau-kalau ada yang tidak beres dengan tangan kananku.

"Ke-kenapa Dok?"

"Ah, tidak..." Jawabnya ragu-ragu. Lalu langsung menambahkan begitu melihatku yang tegang. "Bukan kabar buruk. Kabar baik." Ucapnya sambil memberikan foto rontgen di tangannya. "Tapi cukup aneh. Seharusnya retak ditanganmu baru sembuh paling cepat satu bulan setengah... Ini baru dua minggu dan retakmu sudah menutup... Bahkan aku tidak melihat garis atau bekas retakannya sama sekali... Coba kau kepalkan tanganmu." Aku melakukan apa yang Dokter Erwin katakan. "Apa yang kau rasakan?"

"Tidak ada, hanya sedikit nyeri kalau aku mengepalkannya terlalu kuat."

"Hmm... Yup, tanganmu sudah sembuh. Tapi masih belum bisa melakukan perkerjaan berat seperti mengangkat barang dan semacamnya ya." Ia mengambil jeda lalu melanjutkan. "Apa Profesor Bleu memberi obat buatannya untuk tangan kananmu?" Tubuhku sedikit menegang saat Dokter Erwin menyebut nama Papa. Tapi aku kembali tenang saat teringat sesuatu.

"Tidak. Oh ya, Dok. Aku ingin meminta bantuanmu." Kataku sembari menaruh botol berisi kapsul putih di mejanya.

"Apa ini?" Dokter Erwin mengeluarkan kapsul itu dan memperhatikannya.

"Obat buatan Papa. Aku ingin Dokter untuk memeriksanya. Mencari tahu kandungan-kandungan di dalamnya dan kegunaannya. Aku ingin... Mengenal dunia Papa." Aku tersenyum semanis mungkin.

"Baiklah... Kau bisa kembali tiga hari lagi untuk hasil pemeriksaannya." Aku mengangguk dan berterima kasih padanya. Lalu, keluar dari ruang praktek dan berjalan pulang.

oOo

Aku mengganti pakaianku dengan tank top bermotif bendera Amerika dan celana pendek berwarna abu-abu. Aku memutuskan untuk membersihkan gudang karena tangan kananku sudah sembuh, walau Dokter Erwin bilang aku tidak boleh mengangkat barang-barang berat.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Debu dan barang-barang tua menyerangku begitu aku membuka pintu gudang. "Astaga! Berantakan sekali!" Aku memakai masker, mengambil kardus-kardus kosong dan kantong plastik untuk barang yang akan aku buang. Aku menemukan banyak sekali barang yang mengingatkanku pada Cyan dan Mama. Setiap kali melihat barang-barang itu, ingatan tentang mereka berdua muncul dan melayang-layang di kepalaku. Aku tersenyum dan berkata dalam benakku. Tenang saja Mama, Cyan... Aku akan membunuh orang itu agar kalian dapat tersenyum di sana...

Black WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang