II

1.5K 237 14
                                    

Lily Collins as Suede Brooks.

Aku sedang menonton televisi diruang tengah dengan kaki bersilah ketika Siena keluar dari kamarnya menggunakan tanktop, celana pendek sepaha, dan sepasang boots yang mencapai betisnya.

"Mau kemana kau?" tanyaku cepat-cepat. Ia membungkuk dan menggenggam seluruh rambutnya disatu tangan, tangan yang lain memegang karet rambut.

"Pergi. Refreshing." jawabnya seraya mengangkat kedua tangan dan tersenyum lebar.

"Yang benar saja, kau tidak perlu refreshing." timpalku sambil menirukan gesturnya barusan.

"Tentu aku perlu! Sekolah benar-benar membuatku stres dan aku butuh hiburan." bantahnya.

Kalau dia yang masih SMA saja stres karena sekolahnya, lalu aku yang dituntut menyelesaikan skripsi dan tesis bagaimana?

"Baiklah, pokoknya hati-hati saja." kataku mengalah.

Siena bertepuk tangan dan memelukku sekilas sebelum melesat keluar apartemen. Aku berjalan ke jendela dan membuka tirainya, ingin tahu siapa yang menjemput adikku.

Hanya teman-teman gadisnya saja, aku tidak perlu khawatir.

Di jalan ke dapur aku mengambil remot dan mematikan televisi lalu kulempar lagi remotnya diatas sofa.

Kubuka kabinet diatas kompor untuk mengambil teh, sayangnya tidak ada. Kopi pun tidak ada. Kurasa aku terlalu sibuk dengan tugas kuliahku sampai lupa untuk berbelanja bulanan.

-

Kutarik risleting jaketku ke atas sambil berjalan memasuki kedai kopi yang kemarin. Ini alternatifku ketika melihat kabinet yang kosong di apartemen.

Omong kosong, kita semua tahu apa alasan sebenarnya aku kembali kemari.

Benar saja, pria yang kemarin berada dibalik kasir dan ia mendangak saat mendengar suara bel yang berbunyi setiap ada orang memasuki kedai.

"Hai, kau yang kemarin kan? Mau pesan apa?" tanyanya ramah. Ia melipat kedua tangan di atas meja kasir dan tersenyum padaku.

"Apa yang kau rekomendasikan?" tanyaku kembali. Ia menoleh pada daftar menu di dinding.

"Vanilla latte?"

Aku mengangguk.

"Dingin atau panas?"

"Panas,"

Aku membayar sejumlah uang dan menempati meja yang sama seperti kemarin. Tak lama aku bangkit dan berjalan ke rak buku raksasa diseberang ruangan. Ratusan judul tertata rapi di depan mata namun aku meraih buku yang jaraknya paling dekat. A Little Something Different.

Dua halaman sudah kubaca, pria itu pun menghampiri mejaku dengan nampan ditangannya. Ia meletakkan pesananku dengan perlahan diatas meja.

"Terimakasih." gumamku. Ia tersenyum kecil dan itu sudah cukup untuk membuat pipiku merona.

Harry's POV

"Suede ada disini," kataku pada Tommy yang sedang membaca buku dikamarnya. Di ruko dua lantai yang kusewa ini, lantai bawah kugunakan untuk kedai kopi dan dilantai dua hanyalah ruangan luas berisi satu kamar tidur dan kamar mandi, juga beberapa permainan agar aku atau Tommy tidak bosan selama berada disini. Dan tidak, kami tidak tinggal disini.

"Oh ya?" sahutnya dari balik buku.

Tommy duduk tegap diatas ranjang dan menutup buku yang tengah dibacanya.

"Dia cantik."

"Siapa?" tanyaku bingung.

"Suede. Gadis itu cantik." ulangnya.

"Memang, tapi sayang ia jauh lebih tua darimu." kataku sambil tertawa.

Tommy memutar bola matanya dengan kesal, "Mungkin aku tidak punya kesempatan dengannya, tapi kau punya."

"Apa yang kau bicarakan?"

Aku menggeleng-gelengkan kepala dan berjalan menuruni tangga, Tommy menyusul dibelakangku.

"Ayolah, kapan terakhir kali kau punya kekasih? Apa kau tidak ingin mempunyai kekasih secantik Suede?" serunya.

Aku menoleh sambil terus menuruni tangga, "Aku bahkan tidak kenal dengannya, kau yang kenal."

"Maka berkenalanlah!" serunya lagi. Kuhentikan langkahku secara tiba-tiba dan membuat Tommy menabrak punggungku.

"Ada apa sebenarnya dengan gadis itu? Kenapa kau ingin sekali kami berkenalan?" tanyaku curiga.

"Karena ia sepertinya gadis baik, aku bisa merasakan aura positif disekitarnya, seperti proton." jawabnya dengan mata bersinar.

"Lalu, kau tidak melihat aura positif disekitar Stephanie?"

Stephanie adalah mantan kekasihku, kami berpacaran selama dua bulan sebelum aku menangkap basah ia berciuman dengan salah satu pegawaiku dikamar Tommy. Kuulangi, dikamar Tommy.

"Aku merasakan aura negatif disekitarnya, layaknya elektron." timpalnya.

"Kau terlalu banyak mempelajari sains," tawaku, "aku akan berkenalan dengan Suede setelah ini. Kau senang?"

"Tunggu, kau akan butuh bantuanku."

-

Awalnya aku heran mengapa Tommy berkata aku butuh bantuannya untuk berkenalan dengan Suede. Sesusah apa memangnya berkenalan dengan gadis itu?

Pertanyaanku terjawab ketika Tommy memberikanku secarik kertas. Aku membacanya dan menggelengkan kepala cepat-cepat.

"Tidak. Aku tidak akan memberikan gombalan sainsmu padanya," tolakku seraya menyodorkan kertas tersebut kembali padanya.

"Kau harus memberikannya," Tommy menyodorkan balik kertasnya.

"Tidak."

"Ayolah."

"Kubilang tidak."

"Harry."

"Baiklah." ujarku mengalah.

Kuambil nampan dan kuletakkan sepiring brownies diatasnya, kertas dari Tommy kuselipkan dibawah brownies tersebut.

Dengan percaya diri aku berjalan ke meja Suede dan meletakkan piring tersebut di atas meja.

"Aku tidak memesan ini, mungk--"

"Itu gratis," selaku dan cepat-cepat berjalan kembali ke kasir dengan jantung berdegup kencang.

"Kau mau kemana?" panggil Tommy. Aku berlari menaiki tangga tanpa menjawab pertanyaannya, aku hanya tidak mau melihat reaksi Suede ketika membaca isi kertas tersebut. Tak bisa kubayangkan betapa merahnya wajahku sekarang.

Gimana sejauh ini? Lumayan atau jelek menurut kalian? Vote dan comment ya x.

Suede. H.STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang