IV

1.2K 202 11
                                    

Suede's POV

Hari ini cuaca diluar kampus lumayan cerah seperti biasanya, hanya saja awan gelap sudah mulai menunjukkan diri dengan perlahan-lahan. Aku duduk bersandar dibangku taman sambil menunggu kelas selanjutnya dimulai ketika ponselku berdering.

"Halo?"

"Suede, bagaimana kabarmu dan Siena?"

Tanpa harus melihat nama penelepon aku pun sudah tahu itu suara ibuku. Ia tidak biasanya menelepon, apalagi untuk sekedar menanyakan kabar.

"Aku dan Siena baik-baik saja, ibu sendiri?" kataku sembari menendang kerikil dengan ujung sepatu.

"Ibu juga baik, oh ya--"

"Ibu perlu memberitahuku sesuatu," sela ku, "katakan saja."

Terdengar ia menghela nafas sebelum memberanikan diri untuk bicara.

"Ibu dan ayah akan bercerai."

Kakiku yang semula menendang bongkahan kerikil kini berhenti. Tenggorokanku tercekat dan mataku berair.

"Apa Siena tahu?" tanyaku, berusaha kuat menahan tangis.

"Belum, ibu berpikir akan lebih baik jika kau memberitahunya--"

Dengan terpaksa aku mematikan sambungan telepon kami sebelum ia bisa mendengarku menangis. Tak peduli berapa banyak orang yang ada ditaman ini-- aku menunduk dan menutupi wajahku dengan kedua tangan, mengeluarkan isakkan rendah agar tidak mengundang perhatian.

Alasan utama aku dan Siena kini tinggal berdua adalah karena kami tidak tahan mendengar orang tua kami bertengkar setiap hari. Yang dipermasalahkan terkadang hanya hal-hal sepele tapi tetap saja telinga kami panas mendengar suara mereka. Aku tidak menyangka pernikahan yang awet selama dua puluh tahun lebih bisa dengan mudahnya berakhir seperti ini, lucunya aku sudah mempunyai firasat hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Hanya saja aku menolak untuk mempercayai firasatku tersebut.

Dan kini aku harus memberitahu Siena. Hanya Tuhan yang tahu akan seperti apa reaksinya ketika mendengar berita buruk ini.

-

"Aku tidak mau berbicara denganmu! Berhenti menggedor pintuku!" teriak Siena dari dalam kamarnya. Well, bisa dibilang ia tidak menerima kabar tersebut dengan baik. Terbukti dengan serpihan kaca vas yang berceceran dikarpet ruang tamu.

"Baiklah. Aku ingin keluar sebentar, kau mau titip sesuatu?"

Mendengar tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya aku beranjak meninggalkan apartemen dan berkendara menuju swalayan terdekat.

Kedua sikuku bertopang dipegangan troli seraya mendorong pelan dengan bobot tubuhku menjalari tiap lorong di swalayan ini. Semua yang kubutuhkan di apartemen sudah ada didalam troli namun aku berinisiatif membelikan es krim untuk Siena, siapa tahu itu bisa membuatnya merasa lebih baik.

"Suede?"

Aku memalingkan wajah dan mendapati Harry dengan satu keranjang swalayan ditangannya.

"Hai," sapaku, "bukankah seharusnya kau bekerja di kedai hari ini?"

Ia berjalan mendekat dan mengambil kaleng susu kremer di dekatku. "Iya, kami kehabisan beberapa bahan jadi aku kemari."

"Oh, Tommy tidak ikut?"

"Dia di kedai."

"Bosmu baik sekali mengizinkan Tommy ikut denganmu tiap harinya," kataku sambil tersenyum. Harry dengan canggung menggaruk kepalanya, "Uh, kedai itu milikku sebenarnya jadi--"

Suede. H.STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang