VI

1.1K 190 9
                                    

Ternyata gasempet double update :( maaf ya

Aku menyayangi Siena, sangat menyayanginya. Namun entah bagaimana aku melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan. Aku menamparnya.

Sekitar satu jam yang lalu aku memberitahukan padanya soal persidangan orang tua kami yang diadakan bulan depan dan ia tidak menanggapinya dengan baik. Ia justru mencaci-maki dan menyalahkanku atas perceraian orangtua kami dan begitu aku merasa muak, tanganku melayang dan mendarat dipipi kirinya. Detik berikutnya aku memandangi tanganku tidak percaya.

"Siena.. maafk--" kataku namun terlambat, ia meraih tasnya dan membanting pintu apartemen kami sekeras mungkin.

Aku menyusul dibelakang namun pintu lift sudah tertutup saat aku hendak masuk, lantas aku berlari menuju tangga dan sialnya apartemen kami berada dilantai 16. Benar saja saat aku sampai dilantai dasar taksi yang ditumpangi Siena sudah meninggalkan komplek apartemen.

Dan sekarang disinilah aku, satu jam kemudian, dipinggir jalan raya yang mulai sepi dengan pipi basah dialiri air mata. Aku bahkan tidak membawa dompet dan ponsel, hanya beberapa lembar uang kembalian di saku celanaku. Tumit kakiku mulai terasa pegal akibat berjalan tanpa arah selama satu jam penuh dan ditambah lagi suara gemuruh petir yang mengejutkan samasekali tidak membantu menjernihkan pikiranku.

Tetes air hujan mulai turun satu persatu, hawa dingin menjalari sekujur tubuhku yang hanya dibalut kaos lengan pendek dan celana jins panjang. Aku berpikir, jika aku kembali ke apartemen maka aku akan basah kuyub dalam perjalanan kesana, sedangkan kedai Harry hanya berjarak sepuluh menit dari tempatku berada. Lantas aku berjalan menuju kedainya, seiring derasnya rintik hujan yang turun semakin cepat pula aku berjalan.

Begitu sampai di depan kedai Harry tengah mengunci pintu depan sedangkan Elly, salah satu pekerjanya baru saja berbelok ditikungan jalan meninggalkan kedai.

"Suede?" gumam Harry tatkala ia berbalik, melihatku yang sedikit basah akibat rintikan hujan.

"Hai," kataku canggung. Harry menarikku agar berteduh didepan kedai bersamanya.

"Apa yang kau lakukan disini? Hujannya semakin deras,"

"A-aku hanya ingin memesan kopi tapi kedaimu sudah tutu--"

"Apa kau habis menangis?" ia menyela seraya memperhatikan wajahku lekat-lekat, aku menoleh melihat pantulanku dipintu kaca kedai. Rambutku sedikit acak-acakan, hidungku dan pipiku merah sementara kedua mataku sembap.

"Suede," tegur Harry.

"Uh?"

Ia merogoh kunci dari saku celananya dan membuka pintu kedai. "Ayo masuk,"

"Tapi--"

Harry meletakkan tangannya dipinggangku dan mendorongku masuk kedalam, ia menyusul setelahku. Kuperhatikan ia menyalakan semua lampu didalam dan menyalakan pendingin ruangan dengan suhu tinggi agar tidak terlalu dingin. Aku duduk disofa yang belum pernah kutempati sebelumnya, lalu mengusapkan tangan pada lenganku sembari menunggu Harry. Ia membawakan kami berdua dua cangkir kopi hitam, tidak biasanya ia menyajikan ini untukku.

"Terimakasih," kataku. Sejenak kami hanya diam saja, sesekali menyesap kopi hitam kami tanpa bersuara sampai aku memutuskan untuk membuka mulut.

"Apa kau pernah menyakiti Tommy?" tanyaku. Harry menoleh, ekspresinya bingung, "Maksudmu?"

"Kau tahu, seperti memukulnya atau.."

"Oh, tentu saja tidak. Mengapa memangnya?"

Saat aku tak menjawab, kedua matanya melebar dan mulutnya membulat. "Jangan bilang.."

"Ya, aku memukul Siena, menampar lebih tepatnya."

Mengingat-ingat kejadian itu saja aku serasa ingin menangis lagi. Harry mencondongkan tubuh untuk meletakkan cangkirnya di atas meja.

"Bagaimana bisa? Apa yang terjadi?" tanyanya. Lantas aku menceritakan semuanya, ia pun mendengarkan dengan seksama.

Harry's POV

"Well, sebenarnya wajar saja kau marah tapi.. dia adikmu sendiri. Aku mengerti kau sedang emosi saat itu, aku juga tidak menyalahkanmu." kataku. Suede hanya menunduk menatap cangkirnya.

"Ini salahku. Seharusnya aku memberitahunya secara perlahan, tidak langsung melempar informasi menyakitkan tersebut kehadapannya, seharusnya aku bisa menjadi kakak yang lebih baik, seharusnya aku tidak menamparnya dan.. dan--" ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, air matanya mulai merebak dan ia menangis terisak. Saat ini aku tidak tahu harus bagaimana, apa aku harus memeluknya dan berkata semua akan baik-baik saja? Atau aku hanya diam menunggunya berhenti menangis?

Aku menolak memilih salah satu dari kedua pilihan diatas, sebagai gantinya aku duduk mendekat dan mengusap punggung tangannya.

"Terkadang aku merasa muak kau tahu, muak dengan kedua orang tuaku, dengan Siena, dengan tugas kuliah dan masih banyak lagi. Aku bahkan tidak bisa menghabiskan waktu terlalu lama diluar karena aku khawatir dengan keadaan Siena, apa ka sudah pulang, apa ia sudah makan, apa yang ia butuhkan? Tapi sebagai gantinya ia malah memakiku dan menyalahkanku atas perceraian orangtua kami, jujur aku merasa.. bagaimana mengatakannya, uh.. aku seperti tenggelam kau tahu? Rasanya dadaku sesak dan tercekat oleh semua beban yang kutanggung, dan rasanya susah sekali untuk menjaga kepalaku tetap berada diatas air agar aku bisa bernafas, walau hanya sedikit saja." ungkapnya dalam satu hentakan nafas, lalu ia terisak lagi dan menarik nafas perlahan-lahan. Aku takjub melihat seseorang seperti Suede, seseorang yang begitu cantik, terlihat ceria dan humoris ternyata menanggung sesuatu seberat itu dipundaknya.

"Aku juga pernah merasakan hal yang sama ketika orang tuaku meninggal," kataku, mencoba menempatkan diri diposisi Suede.

"Kau tahu rasanya kan? Maka dari itu aku ingin lepas dari semua ini, meski hanya untuk sementara. Aku berniat pergi, tanpa Siena, hanya aku sendiri. Entah kemana yang penting terhindar dari semua masalah yang kumiliki disini,"

Spontan aku pun panik, kalau ia pergi maka aku tidak akan bertemu dengannya lagi.

"Kau yakin? Lalu bagaimana dengan Siena, dan uh.. kuliahmu?" Dan aku?

Suede menyelipkan sebagian kecil rambutnya ke balik telinga, "Siena sudah besar, ia bisa menjaga dirinya sendiri. Dan persetan dengan kuliahku, aku tidak pernah ingin memasuki jurusan bisnis dari awal."

"Kalau kau pergi.. bagaimana aku bisa bertemu denganmu lagi?" tanyaku. Suede menoleh dengan senyuman tipis, ia meletakkan satu tangan di atas pahaku.

"Temukan aku."

Adventure starts here.

Suede. H.STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang