Flashback On"Zico! Kamu kenapa sih? Dari tadi aku ajak ngomong kamu diam aja. Kamu masih mikirin dia yang sekarang nggak ketauan ada di mana, masih hidup atau nggak? Memang apa hebatnya dia sih? Cewek yang jauh dari kata biasa itu," cerca Siana kesal.
"Siana, dengar ya. Aku nggak suka kamu jelek-jelekkin Krystal seperti itu. Kamu nggak pernah tahu gimana dia sebenarnya." Baru kali ini Zico kehilangan kesabaran dan membentak Siana. Biasanya dia hanya diam jika Siana terus saja marah-marah padanya.
Siana yang kaget dan tak menyangka akan dibentak Zico seperti itu tergagap menjawab pernyataan Zico.
"Ta.... Tapi, Zico. Aku ini istrimu, mana mungkin aku rela suamiku membayangkan perempuan lain dalam rumah tangga kita. Ingat Zico, apa yang udah terjadi sama kita beberapa bulan yang lalu. Ada dia di sini, sebagai bukti cinta kita. Anak kita. Dan dia butuh kita berdua. Please, lihat aku."
Zico terlihat memejamkan mata dan perlahan menghembuskan nafas berat seberat gejolak di hatinya.
"Bukti cinta kita kamu bilang?" Zico mendengus kehabisan kesabaran.
"Kamu tahu persis siapa yang aku cinta, siapa yang ada di hati aku sampai saat ini. Dan nama kamu nggak pernah ada di sini," ucap Zico menunjuk dadanya.
"Jadi jangan pernah berharap aku akan luluh dan jatuh cinta sama kamu karena ada dia. Nggak akan pernah, Siana. Camkan itu baik-baik!" ucap Zico lagi dengan nafas memburu.
"Dia memang anakku, tapi kamu tetap nggak akan pernah ada di hatiku." Zico bangkit dari duduknya meninggal Siana yang menangis dalam diam.
Siana tak pernah menyangka usahanya selama ini untuk membuat Zico mencintainya gagal total. Berbagai cara termasuk mengandalkan kehamilannya pun tak membuat Zico dengan serta merta bisa mencintai dan menerimanya.
Tapi bukan Siana namanya kalau dia menyerah begitu saja. Masih ada cara lain yang pastinya bisa membuat Zico menerima dan mencintainya.
"Kamu tahu, Zico. Kamu sudah menyakiti hatiku dan anak kita. Dan ingat ini baik-baik, Zico. Aku nggak akan pernah melepaskan kamu sampai kapan pun!" teriak Siana seraya meraih kunci mobil.
Siana bergegas pergi dalam kondisi emosi dan sakit hati. Dengan kehamilan yang sudah di bulan ke sembilan dan tinggal menghitung hari akan kelahiran si bayi, Siana mengambil resiko dengan pergi mengendarai mobilnya dalam keadaan ngebut meluapkan segala emosi perasaannya. Dia benci Zico yang tak pernah mau melihatnya padahal segala cara sudah dia lakukan. Sembilan bulan bersama tak merubah apapun. Siana lelah dan kecewa.
Zico yang tahu bergegas mengejar. Namun, kecelakaan itu tak dapat dihindari. Mobil Siana menabrak pembatas jalan dan sempat terseret beberapa ratus meter. Melihat itu, jantung Zico mencelos seketika. Segera dia berhenti dan keluar dari mobilnya. Bagaimana pun, ada dua nyawa dalam mobil tersebut, Siana dan anaknya.
Beruntunglah, bayi dalam kandungan Siana bisa diselamatkan. Tapi Siana mengalami kelumpuhan, untuk beraktivitas dia harus dibantu dengan kursi roda. Zico menyesal sudah membiarkan Siana pergi dalam kondisi marah dan sedang hamil besar. Siana jadi murung dan tak banyak bicara. Bahkan Siana jadi sering menghindari Zico dan bersikap seolah Zico tak ada di dekatnya.
Zalieya Amieera. Nama yang Zico berikan untuk anaknya. Walaupun dia tak pernah mencintai Siana, tapi dia teramat mencintai Za, anaknya. Dan kehadiran Za pun akhirnya membawa cerita baru dalam kehidupan Zico dan Siana.
Flashback off
Siana tertegun melihat pemandangan yang tak biasa ini, melihat Zico dan Za bercengkrama akrab sekali. Karena memang biasanya dia membatasi pertemuan Za dengan Zico. Dan juga setiap kali Za ingin bertemu dengan Daddynya, Siana selalu menyembunyikan dirinya agar tak bertemu dengan Zico. Dia memilih menghindar. Dia takut pertahanan yang selama ini dibangun setelah kejadian yang menimpanya akan runtuh setiap kali dia melihat atau bertemu Zico.
"Mommy, cini ikutan main cama Za dan Daddy. Cini, mommy," panggilan Za membuyarkan lamunan Siana.
"No, sweetheart. Mommy disini aja. Za main sama Daddy aja ya."
"Mommy nggak sayang ya cama Za dan Daddy?" tangisan kecil dari bibir Za perlahan terdengar, bibirnya mencebik dan matanya berkaca-kaca.
"Siana, kemarilah. Za ingin bermain denganmu," suara lembut Zico memanggil Siana.
Suara roda yang berputar perlahan memenuhi ruangan itu. Siana memenuhi keinginan Za untuk bermain bersamanya. Sudah bertahun-tahun Siana tak merasakan perasaan ini, terharu bahagia. Di mana ada dia, Zico dan Za dalam satu ruang dan saling berinteraksi.
"Za, sweetheart, sini sayang peluk Mommy. Maafin mommy yaa, Mommy sayang banget sama Za. Sekarang Za mau main apa sama Mommy?"
Pelukan dan belaian tangan Siana di kepala Za membuat tangisan Za perlahan mereda.
"Benelan, mommy? Kita main ini aja ya Mom, Dad. Ulal tangga."
Senyum cerah ceria menghiasi wajah Za. Tak terlihat bahwa dia baru saja menangis, hanya sisa mata merahnya yang masih mencerminkan bahwa dia baru saja menangis.
"Daddy cini peluk Za juga."
"Ya Za," ucap Zico seraya mengusap pelan rambut putrinya.
Diambilnya nafas panjang saat dadanya tiba-tiba sesak, memeluk Za seperti ini sekarang menyesakkan dada Zico. Bagaimana ke depannya? Hanya karena keegoisan, putri kecilnya jadi korban. Menyalahkan Siana juga tak membuat semua bisa kembali seperti semula. Zico masih tak bisa berpikir lebih, sebuah kenyataan sudah membuatnya seolah kehilangan jiwanya.
--- 000 ---
Krystal tak pernah menyangka jika Ben bisa membuat hidup dia yang tadinya hitam putih menjadi berwarna. Dia yang tadinya merasa sendiri setelah Zico menjauhinya beberapa tahun yang lalu, kini tak lagi sendiri. Ada Ben di sampingnya.
Krystal memang tak banyak mempunyai teman, karena dulu Zico akan bersikap super protektif kepadanya. Bahkan setelah menjauhi Zico dia masih terbiasa hidup sendiri.
Ahh, mengingat nama Zico seketika membuat hatinya berdenyut sekaligus nyeri. Tak pelak membuat dia mengingat informasi dari Bi Zulfa.
"Mas Zico itu kabarnya menikahi mba Siana karena mba Siana udah hamil duluan, Non. Jadi, pernikahan itu cepat-cepat diselenggarakan oleh kedua belah pihak keluarga. Mas Zico juga yang bikin mba Siana cacat seperti sekarang ini. Bibi nggak nyangka kalau mas Zico seperti itu, Non. Padahal sama Non aja dulu sikapnya baik banget gitu."
Setiap kali Krystal mengingat perkataan Bi Zulfa mengenai Zico, hatinya selalu bertambah sakit. Dia tak pernah menyangka jika Zico berubah menjadi orang yang berbeda.
"Halo, Krystal. Kamu di mana? Masih di kantor atau udah di apartemen? Ingat, jangan pulang larut kalau bosmu ini nggak ada. Oke, Krystal?"
"Iyes, bos. Aku udah di apartemen. Puas?!"
"Nah gitu dong, cantik. Aku kan jadinya tenang di sini. Istirahatlah, aku besok pulang.
"Hmm...."
"Nggak usah mikirin aku terus ya?"
"Idih, pede!"
Krystal tersenyum mengingat perlakuan dan sikap Ben. Hanya mendengar suara dan keusilan Ben saja membuat moodnya berubah cepat.
Jujur, Krystal tak tau bentuk perhatian Ben terhadapnya itu sebagai apa. Dia tak ingin berharap terlalu jauh, karena dia tak ingin merasakan sakit yang sama lagi. Cukup Zico seorang yang menyakitinya. Apapun bentuk perhatian dan sikap Ben terhadapnya, Krystal amat sangat berterima kasih karena Ben mampu membuat harinya menjadi lebih berwarna dan bermakna.
***
selamat malam minggu
kencan dengan Zico dan Ben yaaa
Pada dukung siapa nih?
Jangan2 langsung jadi sebel sama Zico hihihihi
Aku jatuh hati sama Ben tapi bisa ditimpuk princessashr
Jadi aku pilih Zico yang selalu setia dengan cintanya, karena hanya orang yang punya jiwa berkelas yang mampu setia
Semoga suka ^^Love, partner
KAMU SEDANG MEMBACA
Dermaga Masa Lalu
RomanceKamu tak perlu menjauh Tetaplah di situ Aku tahu caranya mundur Walau hatiku hancur Mungkin kita bahagia di cerita yang berbeda Biarlah takdir yang bercerita