T H R E E

2.1K 240 28
                                    

Sudah sebulan berlalu semenjak kepindahanku bersama Ana. Dan hari ini adalah hari pertamaku mendapatkan kerja setelah sekian lama. Semalam aku sempat mengecek tabunganku yang sudah menipis. Menyisakan enam digit angka di sana.

Syukurlah, hari ini tetanggaku yang baik hati mau mempekerjakanku di kafenya meski hanya sebagai pelayan. Katanya, ini adalah balasan kebaikanku saat kemarin aku membantu istrinya melahirkan-mengantarkan mereka ke rumah sakit-di tengah malam.

Demi mengisi pundi-pundi tabungan keluarga kecilku, aku harus menerima tawarannya sampai aku mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangku. Oh Tuhan, kenapa cobaanku begitu berat? Apakah memang seperti ini sulitnya membangun keluarga dari awal?

Begitu sulitnya menjadi pelayan. Aku harus berulang kali menghadapi pelanggan yang sangat cerewet. Atau bahkan lebih parahnya, aku selalu mengulangi kesalahan yang sama-salah mengantarkan pesanan. Padahal pekerjaan ini kelihatannya sungguh mudah. Jika tahu sesulit ini melayani orang yang tak kita kenal, rasanya aku ingin pulang saja. Menemui Ana dan menemaninya di rumah. Tapi itu tak mungkin. Tabungan kami semakin menipis. Dan kami terpaksa harus irit demi menghemat keuangan kami.

*****

Pukul sebelas malam, dan aku masih berada di dalam kafe. Melakukan tugas terakhir untuk hari ini: merapikan bangku-bangku kafe, menyempatkan untuk menyapu lantainya yang terbuat dari kayu, kemudian mematikan nyala lampu yang sedaritadi menerangi.

Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, aku perlahan berjalan ke arah mobil tuaku yang terparkir di samping kafe. Menyalakan mesinnya dan mengemudikannya perlahan ke arah rumah.

Aku sedikit gelisah, pasti Ana menungguku sampai selarut ini. Aku tahu, istriku takkan mau tidur sebelum aku sampai di rumah. Dia akan setia menungguku di ruang keluarga sembari menonton televisi. Ana selalu seperti itu. Dia akan rela menahan kantuk sampai aku tiba di rumah.

Dan benar saja, begitu aku memarkirkan mobil di garasi, Ana menyambutku dengan senyuman lebar dari pintu utama rumah kami. Aku membalas senyumannya. Padahal aku tahu, kedua matanya bahkan sudah susah payah ia usahakan untuk terbuka. Tapi selarut ini, ia masih menungguku pulang.

"Selamat malam," sapanya sambil tersenyum. Ia memelukku erat.

Ah, rasanya kelelahanku menguap tak bersisa hanya dengan merasakan satu pelukannya.

"Malam, Ana. Kau belum tidur?" tanyaku sembari mengelus rambutnya yang terurai.

Aku menutup pelan pintu utama rumah kami. Menuntunnya ke dalam kamar.

Ana menggeleng pelan. "Aku menunggumu."

"Jika kau mengantuk, kau harus tidur Ana. Tak perlu menungguku. Kau pasti lelah."

Ana hanya membalasnya dengan senyuman.

"Bersihkan badanmu. Kau pasti butuh menghilangkan keringatmu yang menempel seharian ini."

Aku mengangguk sembari mengacak rambutnya dengan perlahan.

"Baiklah. Dan kau bisa tidur duluan, Nyonya."

Ana lagi-lagi menggeleng. "Aku akan menunggumu."

*****

Hari sudah berganti. Jam di dinding sudah melebihi angka dua belas. Dan kami masih tak bisa memejamkan mata. Seharian berada di kafe, membuatku merindukan Ana. Lenganku melingkar erat di pinggangnya yang kecil. Posisi kami saling berhadapan. Aku memandangi kedua matanya yang mengerjap pelan seolah sedang menahan kantuk.

"Tidurlah," ujarku sembari menyingkirkan helai rambut yang menghalangi pipinya.

Ana hanya tersenyum. Masih mempertahankan kedua matanya untuk terbuka sempurna.

"Kau lelah?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Sangat. Menjadi pelayan di kafe ternyata tidak semudah seperti apa yang kita lihat, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."

"Kau pasti bisa melewatinya, Ben."

Aku mengangguk yakin. "Ya. Aku pasti bisa. Untuk kita."

Ana tersenyum tipis. Kedua matanya perlahan-lahan menutup. Rupanya ia sudah tak dapat menahan kantuk. Sebelah tanganku bergerak mengelus pipinya. Rasanya sedih. Aku merasa tak bisa menjadi suami yang baik untuknya. Bukannya membawanya pada kehidupan yang berkecukupan, aku malah membawanya pada hidup yang penuh kesulitan seperti ini.

"Kenapa?" Ana yang baru saja tertidur, sepertinya terganggu dengan kegelisahanku.

Aku berusaha tersenyum menenangkannya. "Tidurlah."

Sebelah tangannya menangkup sebelah pipiku. "Apa ada yang membuatmu gelisah?"

Aku tak menjawab. Aku terus memandanginya. Betapa aku sangat mencintai istri yang sedang ada di hadapanku saat ini. Tapi rasanya sangat sakit saat aku tak bisa membawanya pada kebahagiaan.

"Ben ...," panggilnya.

"Ya? Aku baik-baik saja, Ana. Sungguh."

Ibu jarinya bergerak mengelus pipiku. "Kau dan aku pasti bisa melewati semuanya, Ben. Aku akan selalu ada di sampingmu. Percayalah, semua ini pasti berlalu. Aku tahu ini tak mudah bagi kita. Tapi kau harus tahu, kau tak sendiri, Ben. Ada aku. Dan aku akan bertahan untukmu."

Ana ....

Betapa aku beruntung, Tuhan mengirimkanku malaikat yang ia jadikan sebagai istriku.

*****

a/n

hai, Benana akhirnya update setelah dua bulan terbengkalai. Entah, aku selalu baper tiap ngelanjutin kisah Ben sama Ana. Aku merasa jahat karena menempatkan mereka pada satu keadaan yang-sepertinya-sangat sulit untuk mereka lewati.

Ah, maaf kalau chapter ini kurang greget. Aku sedang berada dalam masa pemulihan setelah sekian lama hiatus dari dunia tulis-menulis. Dan aku akui, kembali menulis cerita setelah sekian lama itu, rasanya sangat sulit buat dapet feel nya secara sempurna.

Dan apa pendapat kalian mengenai part ini?

Maaf untuk kekurangannya ya.


BenanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang