T W O

2.3K 273 37
                                    

"Minum dulu, Ben," ujar Ana sembari meletakkan segelas teh hangat tepat di hadapanku.

Aku mengangguk pelan. "Terimakasih, An."

"Bagaimana hasil hari ini?" katanya sembari memijit bahuku yang memang terasa kaku.

Mendengar pertanyaannya, aku hanya menggeleng pelan. Kedua bahuku turun dengan lemas. Sebelah tanganku menggenggam tangannya yang rebah di bahuku.

"Belum."

"Ya sudah," ujarnya singkat. Ia masih memijit bahuku dengan pelan. "Mungkin belum rejeki, Ben."

Lagi-lagi aku mengangguk.

Ya, sudah hampir seminggu aku kalang kabut mencari pekerjaan baru kesana kemari. Tapi nihil. Kemanapun aku mencari, jawaban yang kudapat selalu sama.

Maaf, kami sedang tidak membuka lowongan pekerjaan.

Maaf, kami sedang tidak membutuhkan pegawai baru.

Maaf, pekerjaan ini bukan pada bidangmu.

Dan ya, selama hampir seminggu ini pula aku selalu pulang dalam keadaan lelah, tanpa membawa hasil. Jika terus seperti ini, darimana aku dan Ana bisa hidup. Baru saja lima hari pindah ke kota orang dan kami hidup hanya mengandalkan uang tabungan.

"Ben ...."

"Hm?" gumamku dengan mata terpejam. Memikirkan bagaimana kelanjutan kehidupan kami berdua, rasanya membuat kepalaku pusing.

"Bolehkah aku bertanya?"

Aku tersenyum tipis. "Ada apa, An?"

"Apa aku boleh membantumu mencari kerja?" Ana menghentikan pijatannya pada bahuku. "Eung, maksudku ... apa aku boleh bekerja?"

Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Membuka kedua mataku yang terpejam, aku mendapati Ana sedang menggigit bagian bawah bibirnya. Rupanya ia sedang gelisah. Sedikit mendongak, aku menatapnya.

"Sayang, tabungan kita masih cukup. Aku saja yang bekerja. Kamu cukup menungguku pulang. Biarkan aku yang mencari nafkah. Mengerti?"

Kali ini, giliran Ana yang menghela napas panjang. Tak lama kemudian, ia menyunggingkan senyum pengertian. "Ya, kalau itu memang maumu. Aku akan menjadi istri yang baik."

*****

Selarut ini, aku masih berkutat dengan puluhan lembar koran yang mencantumkan banyak daftar perusahaan yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Kacamataku masih melekat. Dengan teliti, aku melingkari banyak kolom yang kiranya sesuai dengan bidangku selama ini.

Pukul sebelas malam, kedua mataku sudah mulai lelah. Aku mulai memijit-mijit tulang hidungku yang terasa pegal, terlalu lama menggunakan kacamata. Melirik ke arah ranjang, di sana Ana sudah tertidur pulas dibalik selimut. Posisinya membelakangiku, menghadap jendela berukuran sedang yang berada di kamar kami.

Merasa cukup dengan banyaknya lingkaran yang berwarna merah di atas lembaran koran tersebut, aku mulai merapikannya. Melipatnya dengan rapi. Menyimpannya di atas nakas yang terletak di sebelah tempat tidur kami.

Perlahan, aku naik ke atas ranjang dengan hati-hati. Khawatir kalau pergerakan kecil dariku bisa mengganggu tidur pulas Ana.

Baru saja berniat untuk berbaring, kedua mataku menyipit saat melihat ada secarik kertas yang menyembul sedikit di bawah bantal Ana. Penasaran, aku menariknya perlahan. Kemudian membuka lipatannya.

Ibu, Ayah ....

Wow, aku kira, hidup berjauhan dengan kalian akan bisa kulalui dengan mudah. Nyatanya sulit. Sulit sekali. Tiap harinya, aku merasa bahwa hidupku layaknya berada dalam satu cerita petualangan dimana aku harus berjuang untuk hidup.

Ibu, Ayah ....

Ben tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Dan ya, sebagai istri yang baik, aku hanya mampu mendukungnya semampuku. Ben tak memperbolehkanku untuk ikut mencari pekerjaan baru.

Aku merindukan kalian. Banyak yang sudah terjadi di sini. Melihat Ben setiap hari pulang dengan keadaan lelah, rasanya membuatku sesak. Suamiku berjuang dengan sungguh-sungguh, sementara aku tak membantunya sama sekali.

Please, don't miss me to much.

Love,

Ana.

Rasanya hatiku mencelos. Ana, apa kau menderita?

*****

BenanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang