F I V E

1.7K 234 38
                                    

"Aku hamil," ulangnya.

"Hamil?" balasku lirih. Di hadapanku, aku melihat kedua bola mata Ana memandangku dengan berkaca-kaca.

Ana mengangguk perlahan, sembari mengusap air mata yang turun di pipinya.

Oh Tuhan, yang benar saja.

Aku berjalan pelan mendekati Ana--yang masih memandangku dengan takut-takut. Aku menariknya ke dalam pelukanku.

Kali ini, aku hanya mampu memeluknya. Aku bingung harus merespon dengan reaksi apa. Apakah aku senang? Ya, sangat. Rasanya ada kembang api yang membuncah di dalam dadaku. Meledak-ledak dengan semangat. Akhirnya kami memiliki keturunan. Dan apakah aku sudah pernah bilang, bahwa hidup selalu berada pada titik keseimbangan? Dan keseimbangannya aku rasakan saat itu juga. Aku merasakan kesedihan dibalik kebahagiaan. Seketika, aku memikirkan bagaimana aku bisa menghidupi bayi kecil kami yang sedang meringkuk nyaman di dalam rahim Ana? Sedangkan aku sebagai calon ayah di sini, hanya bekerja sebagai pelayan sebuah kafe yang memang cukup ramai. Lalu bagaimana caranya aku bisa memberi gizi yang berkecukupan untuk istriku yang mungil, di saat pada kenyataannya, kami sedang susah payah berhemat dalam segala hal, termasuk menu makanan.

Tuhan ....

Beritahu aku rencana yang Kau rancang untukku. Agar aku tak lagi menemukan jalan buntu untuk semua yang harus kulalui. Untuk semua yang menjadi tanggung jawabku. Kumohon .... Satu petunjuk saja.

*****

Malam itu, aku menangis diam-diam sembari memeluk Ana dengan erat. Aku bahkan masih sempat mengelus pelan perutnya yang tak lama lagi akan berubah membuncit. Di dalam sana, ada bayi mungil yang entah wajahnya akan mewarisi siapa. Aku merasa gagal menjadi seorang suami. Belum berhasil aku keluar dari kubangan kesulitan, aku diberi tambahan satu anggota keluarga yang harus kuhidupi dan kuperhatikan secara lebih.

Bukan, bukan aku tak mensyukuri hadirnya malaikat kecil tak bersayap yang meringkuk di dalam perut istriku. Hanya saja .... Aku terlalu takut untuk gagal lagi menjadi seorang ayah. Sembilan bulan ke depan, aku benar-benar ingin melihat Ana yang sehat. Melihat Ana yang bahagia sembari menunggu kelahiran malaikat kami. Tapi apa yang harus aku lakukan jika aku saat ini merasa tak bisa menghidupi keluarga kecil kami. Seharusnya dulu Ana tak menikah denganku. Seharusnya ia bisa mendapat pasangan yang jauh lebih baik daripadaku, sehingga ia tak perlu berada dalam kesulitan seperti ini. Seharusnya ....

"Ben? Ada apa?"

Aku menggeleng pelan. Kepalang basah. Ana melihatku menangis.

Dahi Ana berkerut dalam. Ia berusaha melepas pelukanku yang menemani tidurnya sedaritadi. "Ada apa? Kenapa kau menangis?" Jemarinya yang mungil, bergerak menghapus jejak airmata yang membasah di wajahku.

Aku tersenyum tipis.

"Aku hanya terlalu bahagia karena sebentar lagi kita memiliki keturunan."

Mendengar pernyataanku, Ana tersenyum sembari menangkup wajahku.

"Ben ...."

"Ya?"

"Apa yang kau takutkan?"

Dahiku berkerut bingung. Jantungku berdetak cepat. Ana rupanya bisa membaca kegelisahanku.

Aku berusaha tersenyum. Lenganku kembali memeluknya. "Tidak ada. Tidurlah. Sudah malam."

"Lawan ketakutanmu, Ben. Beranilah untuk percaya, bahwa semua ini akan berakhir. Bahwa kita bisa melewati kesulitan ini. Kau tak pernah sendirian, Ben. Ada aku di sini. Dan kami akan bertahan untukmu. Menemanimu melewati semuanya."

Jemari Ana bergerak menuju kepalaku. Mengusapnya perlahan. Aku tahu, ia berusaha menenangkanku.

"Mulai hari ini, pemandu sorak pribadimu bertambah satu, Ben. Jangan khawatirkan apapun lagi."

*****

a/n

Jangan timpuk aku karena ini terlalu sedikit Hahahaha




BenanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang