Waktu berjalan semakin jauh. Aku dan Ana masih saja seperti ini. Aku tahu, di dalam kehidupan selalu membutuhkan perjuangan. Dari siang sampai malam, aku terus banting tulang demi membuat Ana bahagia. Demi mencukupi kebutuhan kami. Jujur, aku lelah. Kenapa sulit sekali mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangku? Pekerjaan kantoran seperti dulu.
Pertama kali aku memutuskan untuk merantau ke kota lain dan membangun kehidupanku hanya berdua dengan Ana, sedikitpun aku tak membayangkan bahwa kehidupanku akan berjalan dengan sesulit ini. Aku kehilangan pekerjaan karena harus berpindah kota, tabunganku menipis, dan saat ini aku terdampar di satu ruangan besar dengan banyak meja di berbagai sisi, yang mengharuskan aku melayani banyak orang yang tak kukenal sama sekali. Kenapa merantau rasanya sulit sekali?
Bukannya aku tak bahagia dengan pekerjaanku sekarang. Tapi sedari dulu aku sudah terbiasa dengan pekerjaan yang mengharuskanku untuk duduk seharian, berkutat dengan layar komputer serta setumpuk berkas yang harus kuperiksa, kemudian setiap saat harus aku rekap ulang di satu halaman kosong, untuk kulaporkan pada pimpinan.
Semuanya jauh berbeda. Aku tahu, dunia terus berputar. Perjalanan hidup tak ada yang statis. Dan aku sedang melewati masa itu. Lihatlah, selama dua belas jam aku harus berdiri di satu titik-bersikap siaga sebagai pelayan kafe-seperti ini. Aku harus terus tersenyum dan bersikap ramah pada semua orang yang kulayani. Tersenyum, mengucapkan salam selamat datang, mencatat pesanan mereka dengan benar, lalu kembali lagi beberapa menit untuk mengantarkan pesanan mereka. Seperti itulah siklus yang harus kujalani setiap hari.
Kenapa dunia rasanya kejam sekali saat ini? Aku baru saja menikah, tetapi aku harus menghadapi cobaan seperti ini. Bekerja dua belas jam tanpa bisa menikmati berdua dengan istri. Andai saja aku tak memutuskan untuk merantau, mungkin aku takkan kehilangan pekerjaanku yang dulu. Dan saat ini, di jam malam seperti ini, aku pasti sedang berdua dengan Ana, menemaninya menonton televisi.
Memikirkan semuanya, rasanya sungguh berat. Sampai saat ini aku belum mendapat pekerjaan kantoran seperti dulu.
Seandainya saja kehidupan mau berdamai sedikit denganku ....
*****
Aku bersiul-siul senang, menyenandungkan nada tak berirama. Malam ini kafe tutup lebih awal. Dan di samping jokku, tergeletak satu amplop putih kecil. Di sana ada beberapa lembar uang yang setara dengan hasil jerih payahku menjadi pelayan selama sebulan. Aku tahu, jumlahnya tak seberapa jika dibandingkan dengan gajiku yang dulu saat aku masih bekerja di kantoran. Tapi setidaknya, aku merasa senang kali ini. Aku bisa membawakan seporsi martabak manis keju untuk Ana. Ya, dia pasti senang. Mengetahui aku pulang lebih awal, sembari membawakan camilan favoritnya.
*****
Tepat pukul delapan belas, aku sampai di depan rumah. Dahiku mengernyit heran saat mendapati pagar rumah kami dalam keadaan terkunci. Bahkan lampu teras juga padam. Mungkin Ana sedang tidur karena lelah membereskan rumah, kemudian dia tertidur sampai selarut ini sehingga ia lupa menghidupkan lampu. Ya, mungkin saja begitu.
"Ana ...." Suaraku menggema mengisi rumah. Perlahan aku berjalan ke arah saklar lampu sebelum memutuskan untuk berjalan ke arah kamar yang berdekatan dengan dapur rumah kami.
"Sayang ...," panggilku lagi sembari membuka pintu kamar. Dahiku berkerut heran. Aku tak mendapati Ana sedang tertidur pulas, seperti yang ada di bayanganku tadi.
Sepertinya Ana pergi. Aku tak menemukannya di sudut manapun. Di kamar mandi juga tak ada. Mungkin ia pergi ke supermarket ujung jalan untuk membeli sesuatu. Ya, bisa jadi.
Baiklah, sembari menunggu Ana kembali, aku memutuskan untuk memindahkan martabak manis-yang masih berada di dalam kotak-ke atas piring, kemudian meletakkannya di bawah tudung saji meja makan.
Baru saja melangkah untuk beranjak ke kamar mandi, aku mendengar suara pagar rumah kami yang terbuka. Mungkinkah itu Ana?
Bermaksud memastikannya, aku bergegas menuju pintu utama rumah kami. Di balik pintu itu, aku melihat Ana yang terkejut saat melihatku berada di ambang pintu, memandangnya dengan tatapan tajam.
Ana tak menuruti permintaanku.
*****
"Ben ...." Sebelah tangan Ana menangkup sebelah tanganku yang mengepal di atas meja. Saat ini kami duduk berhadapan. Dipisahkan oleh satu meja makan.
Aku hanya diam. Masih memandanginya tanpa berkata apa-apa. Sedangkan Ana balas memandangiku dengan tatapan bersalah.
"Maafkan aku, Ben."
Aku menghela napas panjang. Berusaha meredam emosi sebaik mungkin.
"Makanlah." Aku menggeser piring berisi martabak manis ke hadapan Ana.
"Ben, aku tahu aku salah."
"Aku membelinya dari gaji pertamaku." Aku masih saja tak menanggapi permohonan maaf Ana.
Dihadapanku, Ana melepaskan satu helaan napas panjang.
"Baiklah, aku sudah tiga hari ini bekerja menjadi staf administrasi di salah satu perusahaan swasta."
Aku berdecak kesal. Aku kira, Ana akan menurutiku untuk tetap berada di rumah, dan membiarkan aku yang bekerja. Tapi karena aku pulang lebih awal, aku mendapatinya pulang dengan pakaian rapi-rok span di bawah lutut dengan blouse putih dilapisi blazer hitam.
"Apa kau tak merasa perlu untuk meminta ijinku, Ana?"
"Maaf, Ben."
"Bukankah kita sudah sepakat untuk menyetujui bahwa hanya aku yang bekerja?"
"Iya. Aku tahu. Ta-"
"Apa pekerjaanku membuatmu merasa tak bisa hidup dengan layak?"
Aku akui, aku pasti membuat Ana sengsara dengan kehidupan yang seperti ini. Berusaha hidup irit setiap hari.
Ana hanya diam. Aku melihat kedua matanya berkaca-kaca.
"Ini gajiku." Aku menyodorkan satu amplop putih ke hadapannya. "Aku tahu nominalnya termasuk kecil dibandingkan dengan gajiku saat di kantoran dulu.
"Tak bisakah kau berhenti dari pekerjaanmu dan membiarkanku mencari nafkah untuk kita, Ana?"
Di hadapanku, Ana menggeleng lemah. Ia menggigiti bibir bawahnya.
Aku mendengus kesal. "Kenapa? Gajiku kurang untukmu? Atau kau lelah hidup dalam keadaan seperti ini?"
Ana lagi-lagi menggeleng. "Tidak Ben. Bukan itu."
"Sudahlah, Ana." Aku mengusap-usap wajahku dengan kasar. "Aku tahu aku tak membawamu pada hidup yang berkecukupan. Besok aku akan mencari pekerjaan lebih giat lagi. Agar aku tak menjadi pelayan kafe lagi."
"Biarkan aku bekerja, Ben. Aku harus ikut mencari uang. Aku hamil." Ana mulai menitikkan airmata.
"Apa?" Kedua mataku menyipit.
"Aku hamil," ulangnya.
Oh, Tuhan. Kenapa kau hadirkan bayi di tengah keluargaku saat aku bahkan kesulitan untuk menghidupi kami.
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
Benana
Historia CortaDenganmu, aku belajar bahwa hidup adalah sebuah perjuangan. Bahwa semua tak ada yang instan. Bahwa kita harus berpikir panjang untuk antisipasi sebuah kejatuhan kemudian. Bersamamu, aku kuat. Bersamamu, rasanya aku bisa menghadapi dunia dengan gagah...