O N E

6.3K 332 32
                                    

"Hati-hati ya. Jaga diri kalian baik-baik." Untuk terakhir kalinya, Ibu mertuaku memberikan petuahnya sembari memelukku erat. Aku bisa merasakan Ibu yang sedang susah payah menahan tangis dari suaranya yang sedikit bergetar.

Di dalam pelukan Ibu, aku mengangguk mantap. Ya, aku akan selalu berjanji untuk menjaga anak kandungnya yang saat ini sudah sah menjadi istriku.

Terlepas dari pelukan Ibu, aku beralih memeluk Ayah yang kemudian balas memelukku dengan erat. Meski tak menangis seperti Ibu, aku tahu Ayah pasti juga sama sedihnya. Sesekali beliau memukul punggungku dengan pelan. Aku hanya menghela napas panjang. Setelah ini, aku akan resmi menjadi tulang punggung dari keluarga kecilku.

Tak lama, Ayah melepas pelukan kami. Kedua tangan Ayah berada di bahuku. Beliau meremas bahuku dengan pelan dan mantap. Seolah meletakkan segenap kepercayaannya di atas pundakku.

Dengan sorot mata penuh keyakinan, Ayah memandangku. "Jaga putri Ayah baik-baik ya, Ben."

Aku mengangguk mantap. "Pasti, Ayah."

Dan ya, kehidupan keluarga kecilku dimulai dari sini.

*****

"Apa kau sedih, An?" tanyaku sembari sesekali melirik istriku yang masih sedikit tergugu. Kedua tangannya masih mengenggam tisu yang bisa kutebak, pasti sudah basah dengan airmatanya.

Di sebelahku, ia menggeleng pelan. Kedua matanya yang bulat dan masih berkaca-kaca, balas memandangku yang masih konsentrasi dengan jalanan di depan yang lengang.

"Denganmu aku akan memulai segala hal yang baru, Ben. Dan jauh sebelum aku memutuskan untuk menikah denganmu, aku sudah mempersiapkan diri untuk berpisah dengan Ayah juga Ibu."

Dibalik kemudi, aku sempat melirik Ana sebentar kemudian menyunggingkan senyuman tipis untuknya. Apa tadi aku sudah bilang, bahwa aku sangat bahagia memiliki istri sepertinya?

Aku tahu, Ana memiliki pikiran yang cukup panjang atas kehidupannya. Dia hidup dengan perhitungan keuntungan serta resiko yang cukup akurat. Apapun yang ia ambil atau putuskan, ia selalu tahu resiko maupun keuntungan apa saja yang akan ia dapatkan nanti. Dan ya, rupanya Ana juga tahu bahwa saat ia dewasa dan cukup umur seperti ini, ia harus mengambil resiko untuk hidup jauh dari orangtuanya, dan memutuskan untuk hidup berdua denganku. Ya, memulai segalanya dari bawah.

"Tapi kau tahu, aku belum bisa memberikan kehidupan yang mewah untukmu, An," balasku.

Di sampingku, Ana tersenyum menenangkan. Sebelah tangannya menangkup tanganku yang sedang bersandar pada kemudi. Di depan kami, lampu merah sedang menghitung mundur detiknya. Aku balas menatapnya yang masih saja tersenyum. Ibu jari Ana mengelus lembut punggung tanganku.

"Ben, kau tahu bahwa seorang bayi yang baru saja lahir, tidak bisa langsung berjalan. Dan ya, aku juga tahu bahwa kita harus menjadi seorang bayi itu. Keluar dari kehidupannya yang sebelumnya dengan tangisan. Kemudian ia akan belajar berjalan secara perlahan."

Di dalam dadaku, rasanya ada yang menghangat.

"Dan ya, aku sadar bahwa segala yang ada di dunia ini harus dilalui dengan proses yang berjalan perlahan, Ben. Aku memilihmu untuk menemaniku di kehidupan baruku. Sampai suatu saat nanti di antara kita ada yang pergi."

Sedang terhanyut dengan senyumnya yang menenangkan, aku dikagetkan oleh suara klakson di belakang. Ah, rupanya lampu lalu lintas sudah berganti warna menjadi hijau.

Ya, hidupku akan dimulai hari ini. Merangkak perlahan di atas kedua kakiku sendiri.

*****

Setelah mengemudi selama kurang lebih delapan jam, kami berhenti di depan sebuah rumah yang sederhana. Di sampingku, Ana berdiri dengan satu koper yang sedang digenggamnya. Rumah yang ada di hadapan kami, hanyalah rumah satu lantai dengan pekarangan kecil yang setidaknya bisa menampung mobil sedan keluaran lama milikku.

Dengan senyum bahagia yang terhias di wajah Ana, istriku itu dengan semangat membuka gembok yang mengunci pagar kecil yang tingginya tak melebihi bahuku.

"Aku menyukai rumah ini, Ben," katanya antusias.

Aku yang sedang berjalan di belakangnya, hanya tersenyum senang. Ya, mengetahui seorang wanita yang kau cintai tersenyum karenamu, rasanya sungguh menyenangkan.

Setelah melewati pekarangan rumah-masih dengan semangat yang sama-Ana membuka pintu utama rumah kami lebar-lebar. Kedua matanya memandang takjub ke dalam rumah.

"Maafkan aku yang tak bisa memberimu rumah mewah, An. Aku hanya bisa mengajakmu tinggal di rumah sempit ini."

Lagi-lagi, Ana memberikan senyum menenangkan untukku. Entah karena apa, Ana tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggangku.

"Aku sudah sangat senang, suamiku mau berusaha untuk mengumpulkan uang dan membeli rumah sederhana ini untuk kami tinggali berdua, Ben." Kedua bola mata Ana memandangku dengan antusias. Aku bisa menangkap binar bahagia dari sana.

"Dan aku semakin senang saat menyadari bahwa suamiku itu adalah kamu."

Ah, sungguh aku merasa sangat beruntung memiliki istri seperti Ana.

Menyadari sesuatu, aku memandangnya dengan sendu. Telapak tanganku bergerak mengelus rambut hitamnya yang tergerai sebahu.

"Tapi kau tahu, aku baru saja kehilangan pekerjaan, An."

Ana semakin mengeratkan lingkaran lengannya pada pinggangku.

"Tak apa. Pekerjaan baru masih bisa dicari, Ben."

*****

BenanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang