[2] Roh

270 9 0
                                    

Belasan perawat berlarian keluar dari pintu darurat untuk pasien yang baru saja tiba dengan ambulance. Beberapa orang terlihat terbaring di atas bangsal dengan luka-luka ringan. Beberapa lagi lukanya agak parah.

Sementara, di tempat kejadian, puluhan polisi bergerak untuk mencari orang-orang yang belum ditemukan. Menurut saksi mata, dua buah mobil masuk ke dalam jurang curam karena terdorong oleh truk besar yang menjadi penyebab kecelakaan beruntun tersebut.

"Bagaimana? Sudah ditemukan?" Inspektur Sandra menatap keempat anak buahnya yang baru saja mencari orang-orang beserta kedua mobil yang masuk ke dalam jurang melewati jalan pintas.

Salah satu anak buahnya mengangguk. "Sudah, Inspektur. Tapi..." Kalimatnya menggantung. "Satu korban dinyatakan tewas."

Inspektur menghela nafas panjangnya. Ia sudah menduga hal itu pasti terjadi. Jurangnya cukup curam dan siapa pun yang mampu bertahan setelah masuk ke dalam jurang yang penuh air itu dipastikan sangatlah beruntung.

"Sesuai dugaan. Sekarang, kita harus menggiring ambulance ke rumah sakit secepatnya." Katanya tegas. "Cepat! Cepat!" perintahnya.

***

Dokter Nina menatap adiknya yang terbaring koma di bangsalnya. Selang infus terpasang di tangan kirinya. Dan dalam kondisi ini, tentu saja adik tirinya itu harus menggunakan tabung oksigen untuk membantunya bernafas.

Guntur Tranggana, Presdir Wiraga Group sekaligus ayah tirinya, memintanya untuk tidak menyebarkan keadaan Radit pada publik. Ruangan yang Radit pakai bahkan dijaga ketat oleh rumah sakit. Tentu saja karena rumah sakit tempatnya bekerja adalah rumah sakit milik Wiraga Group juga.

Ini sudah dua hari sejak kecelakaan itu dan Radit masih terbaring lemah di atas ranjang tanpa sadarkan diri. Namun, jika dalam rentang waktu lima hari Radit masih tidak sadarkan diri, maka cepat atau lambat orang-orang akan segera mengetahui bahwa Radit mengalami kecelakaan. Perusahaan Wiraga Group akan terguncang.

Sebagai seorang dokter, ia hanya bisa berpasrah diri pada kemauan Radit untuk tetap hidup. Ia tahu, bahkan sangat tahu. Kenyataannya, alasan Radit hidup adalah Clarissa. Alasannya tetap bertahan di perusahaan adalah karena perempuan itu. Perempuan itu seperti sinar kehidupan bagi Radit. Meskipun begitu, ia masih berharap bahwa Radit memiliki keinginan hidup yang kuat.

***

Clara memandang Azura dengan senyum manisnya. Matanya berbinar bahagia saat menatap kakak perempuan yang sudah lama tidak ditemuinya itu.

Kedua tangannya terus menggenggam tangan Azura untuk meyakinkan bahwa ia tidak bermimpi dan untuk memastikan bahwa dirinya dan Azura tidak terpisah.

"Kak?"

"Hmmm,"

"Aku kangen banget sama Kakak. Kangen keluarga hangat kita yang dulu," ucapnya dengan nada getir. "Kangen Kak Angga yang bawel, kangen Ayah yang lucu dan... kangen Mama yang selalu nyanyiin aku lagu tidur."

Azura mengelus rambut Clara dengan sayang. Matanya menatap nelangsa ke arah adiknya.

"Sekarang, aku bisa ketemu sama Kak Azura dan Mama." Katanya. "Meskipun dengan begitu, aku harus meninggalkan Ayah dan Kak Angga."

"Bukan saatnya, Clara." Mamanya muncul di sebelah kirinya. Memakai baju putih dengan mahkota bunga di kepalanya. Raut wajahnya tampak begitu cantik meskipun terdapat beberapa garis keriput.

"Kenapa, Ma?" Clara menatapnya bingung. "Aku udah di sini."

Mamanya menggeleng. "Tapi kamu harus kembali. Banyak hal yang belum kamu tahu. Banyak hal yang harus kamu selesaikan." Katanya sambil mengelus rambut Clara dengan sayang. Senyum tercetak di wajah cantiknya. "Kamu harus kembali."

BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang