Untuk kesekian kalinya, kedua mata Nina mengikuti pergerakan Moza yang sedari tadi mondar-mandir dengan kedua tangan mengurut keningnya. Perempuan itu tahu sepenuhnya jika sekarang adalah keadaan darurat. Bagaimana informasi itu bisa bocor dalam waktu sehari?
Sebuah ketukan membuat langkah Moza terhenti. Seorang laki-laki muda yang merupakan supir pribadi sekaligus bodyguard Radit, Gio, masuk ke dalam. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan.
"Kenapa, Yo?" tanya Nina saat melihat raut wajah laki-laki itu.
"Presdir memerintahkan untuk menyiapkan Mas Radit seminggu lagi. Perusahaan akan mengadakan konferensi pers penyangkalan terhadap berita itu."
Nina terkejut. "Nggak mungkin, Yo!" ucapnya dengan penuh penekanan. "Kondisi Radit nggak memungkinkan. Dia masih dalam kondisi trauma dan kamu tau, dia lupa ingatan. Apa yang akan dia katakan di depan media untuk menyangkal semuanya?"
Mereka bertiga diam. Membuat kantor Nina mulai dirambati kesunyian, hingga akhirnya Moza duduk di sofa dengan raut wajah seriusnya.
"Susun skenario untuk Radit," ucap Moza tiba-tiba. "Buat daftar pertanyaan yang kemungkinan akan keluar. Radit hanya perlu menghapalkan jawabannya."
Baik Nina maupun Gio langsung tersenyum lebar. Memang tidak diragukan lagi, Moza memang sudah ahli dalam menangani konferensi pers karena dirinya adalah penyanyi terkenal.
Nina menghela nafas lega. "Sesuai harapan, artis sebeken kamu pasti tau seluk beluk konferensi pers." Katanya memuji. "Sekarang, kita hanya perlu membuat Radit bersikap sedikit dingin dan nggak banyak bicara."
***
"Perempuan itu?" Radit menghentikan aktifitas menghapalnya dan menatap Moza panasaran. "Bagaimana?"
Lagi-lagi Moza hanya mengangkat bahunya. "Gue nggak tau namanya. Jadi, nggak bisa nyari tau lebih lanjut," jelasnya. "Tapi gue nggak pernah ketemu sama dia di lingkungan rumah sakit."
"Kemungkinannya?" kejar Radit dengan raut wajah khawatirnya.
"Jika dia bisa masuk ke tubuhnya tepat waktu, maka dia udah sadar, seperti lo." Katanya menjelaskan. "Jika dia telat bahkan sedetik aja, dia nggak akan pernah bisa masuk ke dalam tubuhnya. Dan itu berarti, dia udah nggak ada di dunia ini."
Terkejut. Radit menatap Moza dengan kedua mata membelalak lebar. Seburuk itukah kemungkinannya?
"Jangan natap gue kayak gitu," ucap Moza risih. "Gue nggak bisa melakukan apa-apa selain bantu mengingatkan dia. Kalau dia telat, itu bukan salah gue. Itu udah takdirnya."
Kembali, Radit berusaha untuk mengenyah perempuan yang sempat dilihatnya di atas atap waktu itu. Susah payah, ia fokuskan pikirannya pada buku di tangannya yang berisi tentang daftar pertanyaan dan jawaban yang harus ia hafalkan.
Kemudian, matanya menangkap sebuah nama yang membuat dadanya bergemuruh hebat. Clarissa.
"Dia koma?" Radit kembali menatap Moza.
"Siapa?" Kening Moza berkerut. "Ah! Clarissa," ucapnya tepat sasaran saat menatap raut wajah Radit yang bingung. "Kayaknya waktu itu gue udah pernah bilang sama lo kalau tunangan lo koma," ingatnya dengan kedua mata menatap Radit, mengingatkan. "Di atap."
Radit mengangguk-angguk. Baru teringat akan percakapan antara dirinya dan Moza di atas atap.
"Oh ya, kamu belum kasih tau saya kenapa kamu bisa liat saya waktu itu."
Moza tersenyum memaklumi. Jika sudah sejauh ini, maka tak bisa diharapkan lagi. Radit benar-benar melupakan segalanya. Tentang kehidupannya.
"Gue indigo." Katanya. "Bisa ngeliat yang begituan," tambahnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayangan
RomanceKecelakaan besar itu membuat Radit melupakan segalanya. Seharusnya ia ingat pada rencananya untuk mencari orang di balik kecelakaan tunangannya, Clarissa. Namun kecelakaan itu membuatnya mengalami amnesia dan terpaksa mencari jati dirinya lagi di an...