Angkasa tampak luas seperti tidak ada ujung atau pangkal. Batu-batu melayang dengan gravitasi nol yang mampu menggerakkan mereka tanpa arah. Ada galaksi dengan semerbak warna yang terpantul indah. Beberapanya mencipta lubang hitam yang teramat pekat di tengah. Bila kau lihat lebih dekat, ada bintang yang sedang menemui akhir masanya.
Kabar berita sudah tersebar di mana-mana bahwa tepat hari ini sebuah kewajiban datang menjemput sang empu untuk segera melaksanakan titah. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, manusia Bumi akan melihat langit mereka dikecup bintang paling terang, dan saat itulah tiga sosok tersayang, yang dielu-elukan sebagai penyelamat permata akan segera terjun untuk memulai petualangan.
"Beratus-ratus tahun sudah berlalu, tujuh temurun, sekian lama permata telah bersemayam pada jantung seorang manusia. Masa hukumannya hampir habis, namun ternyata sosok pengkhianat Venus masih berkelana dan mengincar harta yang paling berharga bagi jagat raya kami." Seorang wanita paruh baya bergaun emas, dengan mahkota mengilap di kepala bersuara dari atas singgasana. Matanya memaku pandang pada tiga anak di depannya. "Anak-anakku, inilah saatnya menjemput permata kita, membawanya kembali pulang, dan memastikan jiwanya kembali pada alam semesta dengan tenang."
"Maaf, Ibunda, mengapa harus kami?" sahut seorang wanita muda bergaun merah. Kepalanya tertunduk, merasa tidak sopan karena melemparkan kuriositasnya.
"Sebab kalianlah yang dipercayakan Venus, Anakku. Kemampuan kalian, kecerdasan, dan kecerdikan memberikan segenap kepercayaan Venus pada kalian untuk menjemput permata dengan selamat." Wanita paruh baya itu turun dari singgasana, menghampiri puterinya, dan mengelus lembut rambut anaknya. "Maafkan, Ibunda, Nak. Bila saja beratus-ratus tahun tidak ada kesalahan seorang penduduk Venus, mungkin saja kita tidak akan terpisah. Kesalahan itu sangat fatal sebab ia mengandung anak dari manusia Bumi dan dihukum dengan tidak lagi diakui di Venus dan menjadi manusia Bumi seutuhnya. Hal itu membawa ketidakseimbangan permata yang menjadi penjaga seluruh isi semesta. Zevana, iblis yang telah lama mendekam di bawah kerak Bumi berhasil keluar karena ketidakseimbangan itu."
Wanita itu beralih menepuk pundak dua pemuda yang berada di sisi, merasa kasihan sekaligus khawatir karena bagaimana pun, ketiga anaknya harus mengemban tugas yang berat di Bumi. "Kalian harus berhati-hati sebab apa pun bisa terjadi tanpa kita sadari."
"Ibunda...,"
"Oh, Sayangku, jangan menangis." Direngkuhnya sang puteri kesayangan setelah melihat kedua mata buah hatinya berkaca-kaca. "Kita akan segera berkumpul lagi. Hanya sebentar, Nak. Agni, kedua kakakmu, Rio dan Cakka, akan selalu ada."
Pemuda dengan rambut panjang melewati telinga ikut merangkul adiknya—Agni—dengan senyum lebar. Jubah kuningnya dikibas sedikit, lalu berucap, "Kau tenang saja. Aku dan Rio cukup kuat untuk melindungimu."
"Bagaimana kalau kita tidak bisa kembali lagi?"
"Hei, hei." Rio juga ikut mengangkat suara. "Kita akan kembali, Agni. Peganglah janji kakak tertuamu ini."
Agni tetap mengerucutkan bibir hingga mengundang kekehan geli dari ibu, Cakka, dan juga Rio. Perasaan sedih tentu tetap bergelayut pada hati masing-masing, namun takdir dari anak kerajaan Venus tidak dapat mereka tolak keberadaannya.
"Venus sudah berada 84 juta mil dari Bumi. Manusia telah melihat planet kita bersanding dengan bulan sabit di ufuk Timur. Waktu perpisahan sudah tiba, Anak-anak." Sebuah suara berat membuat semuanya menoleh. Seorang pria dengan tuxedo emasnya berjalan mendekati mereka dengan membawa berita yang membuat tegukan saliva di kerongkongan terasa pahit.
Dataran Venus telah dipenuhi warga yang menyorak untuk ketiga pahlawan penyelamat. Memberi dukungan penuh pada pangeran dan puteri mereka yang akan pergi demi sebuah misi mulia. Terowongan berpancar sinar canary terhubung pada salah satu sisi Bumi, menerobos atmosfer, dan berakhir pada tiga titik berbeda. Petualangan akan segera dimulai, siap tidak siap.
"Ibu?"
"Ya, Rio?"
"Apa kekuatan kami akan bekerja di Bumi?"
"Tidak. Apabila kalian bisa menggunakannya, maka permata berada dalam bahaya." Ibunda tersenyum hangat, memberikan lagi keyakinan ketika kerutan di dahi anak-anaknya timbul sebagai wujud kekalutan. "Tidak apa-apa. Semua itu tidak akan terjadi bila kalian cepat menemukan permata."
"Ayo, Anak-anak. Kalian hanya punya waktu kurang dari satu jam, mulai dari sekarang," ucap ayah mereka yang bersiap di pintu lorong.
Langkah ragu mulai meninggalkan dataran Venus, menyusuri satu per satu terowongan yang melahap mereka dengan cahaya berkilauan. Semua presensi yang ada saling mendoakan akan keselamatan mereka yang rela berjuang demi perdamaian, yang rela mempertaruhkan nyawa demi keselamatan dunia.
"Ibunda, Ayahanda, dan seisi Venus akan selalu memantau kalian. Sampai jumpa lagi, Anak-anakku."
[revisied. 11/03/20]
Akhirnya, aku putuskan untuk serius ngerevisi Diamond di tengah-tengah tugasku yang mengejar bagai setan :'
Aku perkirakan alur Diamond akan tetap, tetapi tulisanku akan berbeda sepenuhnya. Mengingat Diamond ditulis 5 tahun lalu, aku mengalami banyak perubahan yang aku harapkan juga membawa cerita ini ke arah yang lebih baik lagi.
Kalau ada yang pernah baca Diamond, kalian pasti menyadari bahwa bab ini diubah hampir seluruhnya :') Okelah, revisi akan berjalan sangat lambat. Untuk yang pernah tanya Diamond ke mana, terima kasih karena sudah membuatku terdorong untuk mempublikasikannya ulang TT
KAMU SEDANG MEMBACA
DIAMOND [sedang revisi]
FantasyAku harus mencari permata biru itu dan melindunginya dari Zevana. Demi permata itu juga, aku harus turun ke Bumi. Siapa yang tahu, kalau pada akhirnya aku terjebak dalam sebuah permainan? Membawaku melepas apa yang seharusnya aku lindungi dan melind...